Michaela von Leibniz,
31 Desember 1889.
Natal yang indah sudah berlalu. Hanya tinggal dingin dan beku di akhir tahun, musim dingin di Kota Gent ini. Memang salju tak berhenti turun. Rintik-rintik hujan yang memutih dan menggigil itu terus berhamburan dari langit. Sepanjang hari yang kukerjakan hanya termenung di dalam rumah sambil membuat lukisan-lukisan. Kadang-kadang aku juga tidak menyelesaikannya. Lalu aku akan bersenandung, menyanyi, atau juga menulis. Kalau tidak begitu, aku hanya akan menemani kakakku.
Hanna.
Hanna.
Kini dia berdiri di depan jendela yang tengah terbuka. Pandangannya jauh ke luar. Rambutnya ditiup angin ke sana kemari. Namun ia hanya diam, seakan terlena oleh tarian-tarian debu salju. Aku tahu ia sedang memikirkan sesuatu. Sebenarnya, kalian tak perlu bertanya soal itu. Tentu saja dia memikirkan Ludwig.
Mereka sudah bersama sejak satu…, dua…, tiga…, lebih dari tiga tahun.
Tapi sudah dua bulan ini Ludwig pergi ke Wina untuk memenuhi panggilan keluarga. Aku sendiri tak tahu apa yang benar-benar dikerjakannya di sana. Dan tentu saja, saat itu kakakku telah kehilangan seorang kawan. Seorang kawan saja menjadi sangat berarti baginya. Kakak memang tak punya terlalu banyak teman.
Seringkali dia bertanya padaku:
“Kapankah dia akan kembali?”
“Apakah di sana dia merindukanku?”
“Apakah dia ingin selalu bersamaku?”
Atau paling-paling dia akan berkata:
“Tak akan lama ia pergi.”
“Tak akan lama waktu kunanti.”
“Tak akan dia melupakanku.”
(Kurasa aku mulai kasihan padanya)
Lalu setelah itu kakakku akan mulai menunduk. Hal ini pulalah yang dilakukannya sekarang. Dia segera menutup jendela karena angin semakin dingin. Lalu ia pun duduk di seberangku. Diletakkannya gulungan kertas yang sejak tadi dibawa, sebuah puisi karangan Ferdinand Freiligrath.
Puisi itu menjadi inspirasi Franz Liszt untuk menggubah karyanya yang terkenal, Liebesträume Nr. 3. Juga simfoni itulah yang dimainkan Ludwig di pianonya saat dia dan Kakak menjadi sepasang kekasih.
Begini puisinya:
Indah? Menyedihkan?
Aku tidak tahu. Yang pasti, sekarang kakakku mulai termenung dalam penantiannya. Lalu akhirnya, ia tertidur karena lelah menunggu Ludwig yang tak kunjung tiba.
Mereka-kakakku dan Ludwig-seperti satu jiwa dalam tubuh yang terpisah. Ketika yang seorang memanggil, aku yakin yang lain akan mendengarkannya. Ketika yang seorang merasa pedih, mereka berdua akan sedih bersama-sama. Aku tak mengetahui terlalu banyak hal soal hubungan mereka yang aneh ini. Aku juga tak tahu yang dilihat kakakku dari seorang Ludwig. Menurutku, Ludwig hanya seorang pianis berwajah muram, terlalu sensitif, dan selera humornya tak menyenangkan.
Terlepas dari itu, aku mengerti cintanya yang terlalu dalam untuk Kakak. Cinta yang membuatnya sering tersakiti. Cinta yang mempunyai dua mata pedang yang saling menghujamnya. Cinta yang telah menjadi bara api dalam hati gelapnya. Pun sejak dahulu aku tahu mereka saling tertarik, meski tak kunjung mengatakan cinta. Mereka saling menanti tanpa saling berkata.
Kakakku menyedihkan seperti puisi itu.
Ia akan terus mencintai kekasihnya hingga tak ada cinta lagi yang dapat diberikannya.
[…] https://josephinewidya.wordpress.com/2014/01/08/die-liebestraume-catatan-michaela/ […]