PENDAHULUAN
Penyakit infeksi kulit masih merupakan masalah utama penyebab tingginya angka morbiditas pada anak-anak terutama di negara-negara berkembang dan wilayah beriklim tropis. Penyakit infeksi ini sering dijumpai pada anak karena daya tahan kulit terhadap invasi kuman patogen belum sesempurna orang dewasa. Sebanyak 18 studi prevalensi populasi umum di negara berkembang melaporkan prevalensi yang tinggi untuk penyakit infeksi kulit (21- 87%). Infeksi kulit yang paling umum pada anak adalah pioderma (0,2-35%) diikuti dengan tinea kapitis (1-19,7%), skabies (0,2-24%), dan gangguan kulit akibat virus (0,4-9%) (WHO, 2012).
Pioderma merupakan suatu infeksi bakteri kulit yang sering diderita anak-anak. Pioderma adalah infeksi kulit yang disebabkan oleh kuman Staphylococcus aureus dan Streptococcus sp. Delapan belas penelitian bakteriologi telah menunjukkan bahwa Streptococcus grup A merupakan etiologi utama pioderma di banyak negara berkembang dan tropis, diikuti Staphylococcus aureus (WHO, 2012). Data dari Kelompok Studi Dermatologi Anak Indonesia (KSDAI) yang dikumpulkan dari 8 Rumah Sakit di Indonesia tahun 2011, pioderma pada anak menempati urutan pertama insidensi. Pada studi tersebut didapatkan 13,86% dari 8.919 kunjungan baru pasien kulit anak adalah karena pioderma (Pangow, Pandaleke, & Kandou, 2015).
Definisi Pioderma
Pioderma merupakan penyakit kulit yang disebabkan oleh Staphylococcus, Streptococcus atau keduanya. Spesies bakteri penyebab pioderma tersering adalah Staphylococcus aureus dan Streptococcus Beta hemolyticus. Sementara itu, Staphylococcus epidermidis sebagai flora normal juga bisa menyebabkan infeksi, meskipun jarang (Menaldi, Bramono, & Indriatmi, 2015).
Staphylococcus dan Streptococcus merupakan penyebab infeksi kulit tersering. Namun, infeksi kulit itu sendiri sebenarnya dapat juga disebabkan oleh kuman Gram negatif seperti Pseudomonas aeruginosa, Proteus vulgaris, Proteus mirabilis, Escherichia coli, dan Klebsiella.
Pioderma dapat berupa impetigo, folikulitis, furunkel/karbunkel, ektima, erisipelas, selulitis, flegmon, ulkus piogenik, abses multipel kelenjar keringat, maupun Staphylococcal Scalded Skin Syndrome.
Hal yang dapat menjadi faktor predisposisi untuk pioderma di antaranya adalah kurangnya higiene, menurunnya daya tahan tubuh, atau karena adanya penyakit kulit yang mendahului. Kerusakan pada epidermis dapat mempermudah infeksi karena sistem perlindungan kulit terganggu.
Pioderma dapat dibedakan menjadi 2, yaitu pioderma primer dan sekunder. Pioderma primer terjadi pada kulit yang normal, yang biasanya disebabkan oleh suatu mikroorganisme. Sementara itu, pioderma sekunder terjadi pada kulit yang sudah mengalami lesi sebelumnya. Gambaran pioderma ini tidak khas dan mengikuti perjalanan penyakit yang sudah ada.
Penyakit kulit yang diikuti pioderma sekunder disebut sebagai impetigenisata. Beberapa contohnya adalah dermatitis impetigenisata, skabies impetigenisata. Tanda dari impetigenisata di antaranya adalah pus, pustula, bula purulen, krusta kuning kehijauan, pembesaran kelenjar getah bening regional, leukositosis, dan dapat pula disertai demam (Menaldi, Bramono, & Indriatmi, 2015).
Patogenesis Pioderma
Staphylococcus aureus merupakan penyebab utama dari infeksi kulit dan sistemik, seperti halnya Staphylococcus aureus, Streptococcus sp, juga terkenal sebagai bakteri patogen untuk kulit. Streptococcus grup A, B, C, D, dan G merupakan bakteri patogen yang paling sering ditemukan pada manusia. Kandungan protein M pada bakteri ini menyebabkan resistensi terhadap fagositosis. Staphylococcus aureus dan Streptococcus pyogenes menghasilkan beberapa toksin yang dapat menyebabkan kerusakan lokal atau gejala sistemik.
Gejala sistemik dan lokal dimediasi oleh superantigen (SA). Antigen ini bekerja dengan cara berikatan langsung pada molekul HLA-DR pada Antigen-Presenting Cell tanpa adanya proses antigen. Walaupun biasanya antigen konvensional memerlukan interaksi dengan kelima elemen dari kompleks reseptor sel T, superantigen hanya memerlukan interaksi dengan variabel dari pita B. Aktivasi nonspesifik dari sel T menyebabkan pelepasan masif Tumor Necrosis Factor-α (TNF-α), Interleukin-1 (IL-1), dan Interleukin-6 (IL-6) dari makrofag. Sitokin ini menyebabkan gejala klinis berupa demam, ruam eritematosa, hipotensi, dan cedera jaringan (Chiller, Selkin, & Murakawa, 2001).
Pada umumnya bakteri patogen pada kulit akan berkembang akibat ekskoriasi, gigitan serangga, trauma, sanitasi yang buruk serta pada orang-orang yang mengalami gangguan sistem imun. Adanya trauma atau inflamasi dari jaringan (luka bedah, luka bakar, dermatitis, benda asing) juga menjadi faktor yang berpengaruh pada patogenesis dari penyakit yang disebabkan oleh bakteri ini karena kerusakan jaringan kulit sebelumnya menyebabkan fungsi kulit sebagai pelindung akan terganggu sehingga memudahkan terjadi infeksi bakteri (Davis, 2016).
Pengobatan Umum Pioderma
Pengobatan umum pada pioderma meliputi pengobatan sistemik dan topikal (Menaldi, Bramono, & Indriatmi, 2015):
- Sistemik
- Penisilin G prokain dan semisintetisnya
- Penisilin G prokain
- Penisilin G prokain dan semisintetisnya
Dosis dewasa 1,2 juta unit perhari, pemberian IM. Dosis anak 25.000-50.000 IU im 1-2 kali sehari. Obat ini sudah tidak dipakai lagi karena tidak praktis dan sering menimbulkan syok anafilaktik.
- Ampisilin
Dosis 4×500 mg, diberikan sejam sebelum makan. Dosis anak 7,5-25 mg/kg/dosis, diberikan 4 dosis dalam sehari.
- Amoksisilin
Dosis sama seperti ampisilin. Obat ini dapat diberikan setelah makan. Selain itu, diabsorpsi lebih cepat dari ampisilin sehingga konsentrasi dalam plasma lebih tinggi
- Golongan obat penisilin resisten-penisilinase
Contoh antibotik jenis ini adalah oksasilin, kloksasilin, dikloksasilin, flukloksasilin. Dosis kloksasilin adalah 3×250 mg per hari sebelum makan. Dosis anak 10-25 mg/kg/dosis.
- Linkomisin dan Klindamisin
Dosis linkomisin 3×500 mg sehari selama 5-7 hari. Dosis klindamisin adalah 4×150 mg sehari. Pada infeksi berat, dosis dapat dinaikkan menjadi 4×300-450 mg sehari. Dosis klindamisin pada anak lebih dari 1 bulan 8-20 mg/kg/hari, 3-4 kali sehari. Efek samping yang mungkin muncul adalah pseudomembranosa, meskipun cukup jarang. Klindamisin saat ini lebih direkomendasikan karena potensi antibakterinya lebih tinggi dan efek sampingnya lebih sedikit. Selain itu pada pemberian oral, obat ini tidak dihambat oleh asam lambung.
- Eritromisin
Dosis eritromisin adalah 4×500 mg sehari. Dosis eritromisin anak 12,5-50 mg/kg/dosis, diberikan 4 kali sehari sesudah makan. Efektivitasnya kurang dibandingkan dengan linkomisin atau klindamisin, dan obat golongan penisilin resisten-penisilinase. Selain itu, obat ini juga cepat menyebabkan resistensi. Juga, dapat memberikan rasa tidak enak di lambung.
- Sefalosporin
Jika pioderma berat atau tidak berespon dengan pengobatan di atas, sefalosporin dapat digunakan. Contohnya yang dapat digunakan adalah sefadroksil dosis 2×500 mg atau 2×1000 mg sehari.
- Topikal
Antibiotik topikal yang dapat digunakan adalah yang tidak digunakan secara sistemik untuk mencegah resistensi dan hipersensitivitas. Contohnya adalah basitrasin, neomisin dan mupirosin. Neomisin juga dapat digunakan untuk infeksi Gram negatif. Untuk kompres terbuka, dapat digunakan larutan permanganas kalikus 1/5000, larutan rivanol 0,1% dan povidone iodine 7,5% yang dilarutkan 10 kali (Menaldi, Bramono, & Indriatmi, 2015).
Pemeriksaan Penunjang pada Pioderma
Sebagaimana infeksi bakteri lainnya, pada pemeriksaan darah dapat ditemukan leukositosis. Pemeriksaan yang dapat dilakukan pada kasus pioderma antara lain kultur dan tes resistensi pada kasus kronis dan sukar sembuh. Ada kemungkinan bahwa penyebabnya bukan Gram positif, melainkan Gram negatif. Tes resistensi bersifat sebagai penyokong. Selain itu, kadangkala hasil in vivo tidak sesuai dengan in vitro (Menaldi, Bramono, & Indriatmi, 2015).
ISI
Pioderma pada Bayi dan Anak-Anak
Pioderma yang sering ditemukan pada anak-anak, antara lain (Menaldi, Bramono, & Indriatmi, 2015):
- Impetigo (impetigo krustosa, impetigo bulosa, dan impetigo neonatorum),
- Ektima,
- Abses multipel kelenjar keringat,
- Staphylococcal Scalded Skin Syndrome.
Impetigo
Impetigo merupakan pioderma superfisialis (terbatas pada epidermis). Jenis impetigo meliputi impetigo krustosa, bulosa, dan neonatorum (Menaldi, Bramono, & Indriatmi, 2015).
- Impetigo Krustosa
Impetigo ini disebut juga impetigo kontagiosa, impetigo vulgaris, impetigo Tillbury Fox. Penyebab utamanya adalah Streptococcus B haemolyticus. Impetigo jenis ini biasa terjadi pada anak-anak. Gejala klinisnya tidak disertai gejala sistemik. Predileksi berada di wajah, sekitar lubang hidung, dan mulut. Sumber infeksi dianggap dari daerah tersebut. Kelainan kulit berupa eritema dan vesikel yang memecah sehingga jika pasien datang berobat tampak krusta tebal berwarna kuning seperti madu. Jika dilepaskan, akan tampak erosi di bawahnya. Komplikasi dari impetigo krustosa adalah glomerulonefritis pada tipe tertentu (Menaldi, Bramono, & Indriatmi, 2015).
Diagnosis banding impetigo krustosa adalah ektima. Tatalaksana berupa pelepasan krusta, jika krusta sedikit. Lalu diberi salep antibiotik. Jika krusta banyak, dapat diberikan antibiotik sistemik.
Komplikasi dapat berupa glomerulonefritis pascastreptokokal, meski jarang ditemukan. Keadaan ini terjadi 18-21 hari setelah infeksi akibat kompleks antibodi-antigen yang terbentuk terhadap komponen Streptococcus. Kompleks imun ini terbentuk pada glomerulus dan menyebabkan inflamasi lokal sehingga terjadi glomerulonefritis (Menaldi, Bramono, & Indriatmi, 2015).
- Impetigo Bulosa
Nama lain impetigo ini adalah impetigo vesikobulosa atau cacar monyet. Penyebab utamanya adalah Staphylococcus aureus. Kondisi medis sistemik tidak dipengaruhi. Predileksi terletak pada ketiak, dada, dan punggung. Seringkali kejadian ini bersama-sama dengan miliaria. Impetigo bulosa terjadi baik pada anak-anak maupun dewasa. Kelainan kulit berupa eritema, bula, dan bula hipopion. Vesikel atau bula yang sudah pecah biasanya menampilkan gambaran kolaret dengan dasar eritematosa.
Diagnosis bandingnya adalah dermatofitosis pada kondisi vesikel atau bula telah pecah. Oleh karena itu, perlu ditanyakan pada anamnesis mengenai adanya lepuh sebelumnya.
Jika hanya beberapa vesikel atau bula, tatalaksananya adalah dengan dipecahkan lalu diberi salep antibiotik atau cairan antiseptik. Jika banyak, diberikan antibiotik sistemik. Faktor predisposisi perlu dicari. Jika banyak keringat, ventilasi perlu diperbaiki (Menaldi, Bramono, & Indriatmi, 2015).
- Impetigo Neonatorum
Impetigo neonatorum merupakan varian impetigo bulosa yang terdapat pada neonatus. Kelainan serupa dengan impetigo bulosa, tetapi lokasinya lebih menyeluruh. Demam juga dapat terjadi.
Diagnosis bandingnya adalah sifilis kongenital. Pada kondisi tersebut, bula terdapat juga pada telapak tangan dan kaki, terdapat snuffle nose, saddle nose, dan pseudoparalisis Parrot. Pengobatan berupa antibiotik sistemik. Pemberian bedak salisilat 2% juga dapat diberikan secara topikal (Menaldi, Bramono, & Indriatmi, 2015).
Ektima
Ektima merupakan infeksi pioderma pada kulit dengan karakteristik berbentuk krusta disertai ulserasi. Ektima menyerang epidermis dan dermis membentuk ulkus dangkal yang ditutupi oleh krusta berlapis, biasanya terdapat pada tungkai bawah. Faktor predisposisi yang dapat menyebabkan timbulnya penyakit ini adalah sanitasi yang buruk, menurunnya daya tahan tubuh, serta adanya riwayat penyakit kulit sebelumnya (Menaldi, Bramono, & Indriatmi, 2015).
Insidensi ektima di seluruh dunia tepatnya tidak diketahui. Frekuensi terjadinya ektima berdasarkan umur terdapat pada anak-anak, dewasa muda dan orang tua, tidak ada perbedaan ras dan jenis kelamin, pria dan wanita sama (Shou et al, 2009).
Dari hasil penelitian epidemiologi didapatkan bahwa tingkat kebersihan dari pasien dan kondisi kehidupan sehari-harinya merupakan penyebab terpenting yang membedakan angka kejadian, beratnya ringannya lesi, dan dampak sistemik yang didapatkan pada pasien ektima (Wasserzug, 2009).
Salah satu diagnosis banding ektima adalah folikulitis sebab predileksi penyakit ini biasanya di tungkai bawah dengan kelainan berupa papula atau pustula yang eritematosa. Perbedaannya, pada folikulitis terdapat rambut di tengah papula atau pustula dan biasanya multipel (Hunter, 2003).
Diagnosis banding yang kedua adalah impetigo krustosa karena memberikan gambaran efloresensi yang hampir sama yaitu berupa lesi yang ditutupi krusta. Hanya saja pada impetigo krustosa lesi biasanya lebih dangkal, krustanya lebih mudah diangkat, dan tempat predileksinya pada wajah dan punggung serta terdapat pada anak-anak sedangkan pada ektima lesi biasanya lebih dalam berupa ulkus, krustanya lebih sulit diangkat dan tempat predileksinya biasanya pada tungkai bawah serta bisa terdapat pada usia dewasa muda. Pada ektima didapatkan efloresensi yang khas, yaitu adanya ulkus superfisial yang disertai adanya krusta tebal cokelat kehitaman (Hunter, 2003).
Apabila jumlah sedikit, krusta diangkat dan diberikan antibiotik topikal. Jika ditemukan dalam jumlah banyak, diberikan antibiotik sistemik (Djuanda, 2013). Komplikasi ektima, antara lain selulitis, erisipelas, gangren, limfangitis, limfadenitis supuratif, gejala sistemik serta bakteremia kadang terlihat (Davis, 2016).
Abses Multipel Kelenjar Keringat
Abses multipel kelenjar keringat adalah infeksi pada kelenjar keringat berupa abses multipel tidak nyeri berbentuk kubah. Umumnya disebabkan oleh Staphylococcus aureus. Kondisi ini paling sering pada anak-anak. Biasanya muncul saat daya tahan tubuh turun (karena malnutrisi, morbili) atau banyak keringat (Menaldi, Bramono, & Indriatmi, 2015).
Gambaran lesi yang muncul dapat berupa nodus eritematosa multipel, tidak nyeri, berbentuk kubah, dan lama pecah. Lokasinya di tempat yang banyak keringat. Kelainan ini mirip dengan furunkulosis, tetapi pada furunkulosis terasa nyeri, bentuknya seperti kerucut dengan pustula di tengah, dan relatif lebih cepat memecah. Tatalaksana yang dapat diberikan adalah antibiotik sistemik dan topikal. Selain itu, faktor predisposisi juga perlu diperhatikan untuk ditangani (Menaldi, Bramono, & Indriatmi, 2015).
Staphylococcal Scalded Skin Syndrome
Staphylococcal Scalded Skin Syndrome merupakan infeksi kulit oleh Staphylococcus aureus dengan ciri epidermolisis. Etiologi penyakit ini adalah bakteri Staphylococcus aureus grup II faga 52, 55, dan/atau 71 (Menaldi, Bramono, & Indriatmi, 2015).
Patogenesis sindrom ini berawal dari infeksi pada mata, hidung, tenggorok, dan telinga. Mikroorganisme penyebab infeksi melepaskan toksin eksfoliatif yang beredar di seluruh tubuh. Zat ini bersifat epidermolitik dan menyebabkan kerusakan epidermis. Pada orang dewasa dengan fungsi ginjal yang baik, eksotoksin ini dengan cepat dikeluarkan lewat urin. Sedangkan pada anak dan bayi yang diduga mempunyai fungsi ginjal yang belum sempurna, terjadi pengeluaran eksotoksin tidak berjalan dengan cepat sehingga penyakit ini seringkali menyerang kelompok usia itu (Menaldi, Bramono, & Indriatmi, 2015).
Manifestasi klinis dimulai dengan demam tinggi dan infeksi saluran napas atas. Kemudian kelainan kulit yang pertama ditemukan adalah eritema pada wajah, leher, ketiak, dan lipat paha. Lesi ini kemudian menyebar ke seluruh tubuh dalam 24 jam. Setelah 24-48 jam, muncul bula-bula besar yang dangkal dan rapuh. Dasar dari lepuh tersebut terasa nyeri.
Kemudian kulit yang tampak normal akan mengelupas apabila dilakukan penekanan dan penggeseran. Tanda ini disebut tanda Nikolsky. Dalam 2-3 hari terjadi pengeriputan dan pengelupasan kulit. Pada pemeriksaan histologis akan tampak celah pada stratum granulosum. Mukosa jarang diserang, tetapi pasien kadang-kadang dapat mengeluarkan sekret mukopurulen dari mata. Penyembuhan akan terjadi setelah 10-14 hari tanpa menyisakan sikatriks (Menaldi, Bramono, & Indriatmi, 2015).
Diagnosis terhadap penyakit ini harus dilakukan dengan teliti karena seringkali diduga sebagai eritema multiformis atau nekrolisis epidermal toksik yang dapat disembuhkan dengan kortikosteroid. Hal ini karena nekrolisis epidermal toksik merupakan reaksi hipersensitivitas, biasanya terhadap obat (Baorto, 2016).
Diagnosis yang salah dapat menunda kesembuhan dan meneruskan proses pengelupasan. Terapi kortikosteroid akan menyebabkan superinfeksi. Tingkat mortalitas memang sedikit di antara anak-anak. Namun demikian, akibat fatal tetap bisa terjadi apabila terdapat kesalahan diagnosis (Baorto, 2016).
Tatalaksana penyakit ini dengan pemberian antibiotik dan memerhatikan keseimbangan cairan dan elektrolit. Komplikasi Staphylococcal Scalded Skin Syndrome dapat berupa selulitis, pneumonia, maupun septikemia (Baorto, 2016). Kematian dapat terjadi akibat gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit ataupun sepsis (Menaldi, Bramono, & Indriatmi, 2015).
DAFTAR PUSTAKA
Baorto, E. P. (2016, Juni 30). Staphylococcus aureus Infection. Diunduh pada Juli 19, 2016, dari Medscape: http://emedicine.medscape.com/article/971358-overview
Chiller, K., Selkin, B. A., & Murakawa, G. J. (2001). Skin microflora and bacterial infections of the skin. J Investig Dermatol Symp Proc, 6 (3), 170-174.
Davis, L. (2016, Januari 7). Ecthyma Treatment and Management. Diunduh pada Juli 19, 2016, dari Medscape: http://emedicine.medscape.com/ article/ 1052279-treatment#d2
Hunter, J. (2003).Bacterial Infections. Dalam: Clinical Dermatology (3 ed.) (pp. 190-191). USA: Blackwell Science.
Menaldi, S., Bramono, K., & Indriatmi, W. (2015). Pioderma. In S. Djuanda, M. Hamzah, & S. Aisah, Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin (7 ed.) (pp. 71-77). Jakarta: FKUI.
Pangow, C. C., Pandaleke, H. E., & Kandou, R. T. (2015). Profil Pioderma pada Anak di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP PROF. DR. R. D. Kandou Manado Periode Januari-Desember 2012. eCl, 3 (1), 217-223.
Shou K, et al. (2009). Cutaneus Bacterial Infection. Dalam: Pediatric Dermatology: A colour atlas and synopsis (2 ed.) (pp.354-355). New York: The McGraw Hill.
Wasserzug, O. (2009). A cluster of ecthyma outbreaks caused by a single clone of invasive and highly infective Streptococcus pyogenes. Clin Infect Dis, 48 (9), 1213-1219.
WHO. (2012, Mei 15). Epidemiology and Management of Common Skin Diseases in Children in Developing Countries. Diunduh pada Juli 18, 2016, dari World Health Organization: http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/69229/ 1/WHO _FCH_CAH_05.12_eng.pdf
Leave a Reply