Feeds:
Posts
Comments

Archive for the ‘Kulit dan Mata’ Category

PENDAHULUAN

Penyakit infeksi kulit masih merupakan masalah utama penyebab tingginya angka morbiditas pada anak-anak terutama di negara-negara berkembang dan wilayah beriklim tropis. Penyakit infeksi ini sering dijumpai pada anak karena daya tahan kulit terhadap invasi kuman patogen belum sesempurna orang dewasa. Sebanyak 18 studi prevalensi populasi umum di negara berkembang melaporkan prevalensi yang tinggi untuk penyakit infeksi kulit (21- 87%). Infeksi kulit yang paling umum pada anak adalah pioderma (0,2-35%) diikuti dengan tinea kapitis (1-19,7%), skabies (0,2-24%), dan gangguan kulit akibat virus (0,4-9%) (WHO, 2012).

Pioderma merupakan suatu infeksi bakteri kulit yang sering diderita anak-anak. Pioderma adalah infeksi kulit yang disebabkan oleh kuman Staphylococcus aureus dan Streptococcus sp. Delapan belas penelitian bakteriologi telah menunjukkan bahwa Streptococcus grup A merupakan etiologi utama pioderma di banyak negara berkembang dan tropis, diikuti Staphylococcus aureus (WHO, 2012). Data dari Kelompok Studi Dermatologi Anak Indonesia (KSDAI) yang dikumpulkan dari 8 Rumah Sakit di Indonesia tahun 2011, pioderma pada anak menempati urutan pertama insidensi. Pada studi tersebut didapatkan 13,86% dari 8.919 kunjungan baru pasien kulit anak adalah karena pioderma (Pangow, Pandaleke, & Kandou, 2015).

Definisi Pioderma

Pioderma merupakan penyakit kulit yang disebabkan oleh Staphylococcus, Streptococcus atau keduanya. Spesies bakteri penyebab pioderma tersering adalah Staphylococcus aureus dan Streptococcus Beta hemolyticus. Sementara itu, Staphylococcus epidermidis sebagai flora normal juga bisa menyebabkan infeksi, meskipun jarang (Menaldi, Bramono, & Indriatmi, 2015). 

Staphylococcus dan Streptococcus merupakan penyebab infeksi kulit tersering. Namun, infeksi kulit itu sendiri sebenarnya dapat juga disebabkan oleh kuman Gram negatif seperti Pseudomonas aeruginosa, Proteus vulgaris, Proteus mirabilis, Escherichia coli, dan Klebsiella.

Pioderma dapat berupa impetigo, folikulitis, furunkel/karbunkel, ektima, erisipelas, selulitis, flegmon, ulkus piogenik, abses multipel kelenjar keringat, maupun Staphylococcal Scalded Skin Syndrome. 

Hal yang dapat menjadi faktor predisposisi untuk pioderma di antaranya adalah kurangnya higiene, menurunnya daya tahan tubuh, atau karena adanya penyakit kulit yang mendahului. Kerusakan pada epidermis dapat mempermudah infeksi karena sistem perlindungan kulit terganggu. 

Pioderma dapat dibedakan menjadi 2, yaitu pioderma primer dan sekunder. Pioderma primer terjadi pada kulit yang normal, yang biasanya disebabkan oleh suatu mikroorganisme. Sementara itu, pioderma sekunder terjadi pada kulit yang sudah mengalami lesi sebelumnya. Gambaran pioderma ini tidak khas dan mengikuti perjalanan penyakit yang sudah ada. 

Penyakit kulit yang diikuti pioderma sekunder disebut sebagai impetigenisata. Beberapa contohnya adalah dermatitis impetigenisata, skabies impetigenisata. Tanda dari impetigenisata di antaranya adalah pus, pustula, bula purulen, krusta kuning kehijauan, pembesaran kelenjar getah bening regional, leukositosis, dan dapat pula disertai demam (Menaldi, Bramono, & Indriatmi, 2015). 

Patogenesis Pioderma

Staphylococcus aureus merupakan penyebab utama dari infeksi kulit dan sistemik, seperti halnya Staphylococcus aureus, Streptococcus sp, juga terkenal sebagai bakteri patogen untuk kulit. Streptococcus grup A, B, C, D, dan G merupakan bakteri patogen yang paling sering ditemukan pada manusia. Kandungan protein M pada bakteri ini menyebabkan resistensi terhadap fagositosis. Staphylococcus aureus dan Streptococcus pyogenes menghasilkan beberapa toksin yang dapat menyebabkan kerusakan lokal atau gejala sistemik.

Gejala sistemik dan lokal dimediasi oleh superantigen (SA). Antigen ini bekerja dengan cara berikatan langsung  pada molekul HLA-DR  pada Antigen-Presenting Cell tanpa adanya proses antigen. Walaupun biasanya antigen konvensional memerlukan interaksi dengan kelima elemen dari kompleks  reseptor sel T, superantigen hanya memerlukan interaksi dengan variabel dari pita B. Aktivasi  nonspesifik dari sel T menyebabkan pelepasan masif Tumor Necrosis Factor-α (TNF-α), Interleukin-1 (IL-1), dan Interleukin-6 (IL-6) dari makrofag. Sitokin ini menyebabkan gejala klinis berupa demam, ruam eritematosa, hipotensi, dan cedera jaringan (Chiller, Selkin, & Murakawa, 2001).

Pada umumnya bakteri patogen pada kulit akan berkembang akibat ekskoriasi, gigitan serangga, trauma, sanitasi yang buruk serta pada orang-orang yang mengalami gangguan sistem imun. Adanya trauma atau inflamasi dari jaringan (luka bedah, luka bakar, dermatitis, benda asing) juga menjadi faktor yang berpengaruh pada patogenesis dari penyakit yang disebabkan oleh bakteri ini karena kerusakan jaringan kulit sebelumnya menyebabkan fungsi kulit sebagai pelindung akan terganggu sehingga memudahkan terjadi infeksi bakteri (Davis, 2016).

 

Pengobatan Umum Pioderma

Pengobatan umum pada pioderma meliputi pengobatan sistemik dan topikal (Menaldi, Bramono, & Indriatmi, 2015):

  1. Sistemik
    1. Penisilin G prokain dan semisintetisnya
      1. Penisilin G prokain

Dosis dewasa 1,2 juta unit perhari, pemberian IM. Dosis anak 25.000-50.000 IU im 1-2 kali sehari. Obat ini sudah tidak dipakai lagi karena tidak praktis dan sering menimbulkan syok anafilaktik.

  • Ampisilin

Dosis 4×500 mg, diberikan sejam sebelum makan. Dosis anak 7,5-25 mg/kg/dosis, diberikan 4 dosis dalam sehari.

  • Amoksisilin

Dosis sama seperti ampisilin. Obat ini dapat diberikan setelah makan. Selain itu, diabsorpsi lebih cepat dari ampisilin sehingga konsentrasi dalam plasma lebih tinggi

  • Golongan obat penisilin resisten-penisilinase

Contoh antibotik jenis ini adalah oksasilin, kloksasilin, dikloksasilin, flukloksasilin. Dosis kloksasilin adalah 3×250 mg per hari sebelum makan. Dosis anak 10-25 mg/kg/dosis.

  • Linkomisin dan Klindamisin

Dosis linkomisin 3×500 mg sehari selama 5-7 hari. Dosis klindamisin adalah 4×150 mg sehari. Pada infeksi berat, dosis dapat dinaikkan menjadi 4×300-450 mg sehari. Dosis klindamisin pada anak  lebih dari 1 bulan 8-20 mg/kg/hari, 3-4 kali sehari. Efek samping yang mungkin muncul adalah pseudomembranosa, meskipun cukup jarang. Klindamisin saat ini lebih direkomendasikan karena potensi antibakterinya lebih tinggi dan efek sampingnya lebih sedikit. Selain itu pada pemberian oral, obat ini tidak dihambat oleh asam lambung.

  • Eritromisin

Dosis eritromisin adalah 4×500 mg sehari. Dosis eritromisin anak 12,5-50 mg/kg/dosis, diberikan 4 kali sehari sesudah makan. Efektivitasnya kurang dibandingkan dengan linkomisin atau klindamisin, dan obat golongan penisilin resisten-penisilinase. Selain itu, obat ini juga cepat menyebabkan resistensi. Juga, dapat memberikan rasa tidak enak di lambung.

  • Sefalosporin

Jika pioderma berat atau tidak berespon dengan pengobatan di atas, sefalosporin dapat digunakan. Contohnya yang dapat digunakan adalah sefadroksil dosis 2×500 mg atau 2×1000 mg sehari.

  1. Topikal

Antibiotik topikal yang dapat digunakan adalah yang tidak digunakan secara sistemik untuk mencegah resistensi dan hipersensitivitas. Contohnya adalah basitrasin, neomisin dan mupirosin. Neomisin juga dapat digunakan untuk infeksi Gram negatif. Untuk kompres terbuka, dapat digunakan larutan permanganas kalikus 1/5000, larutan rivanol 0,1% dan povidone iodine 7,5% yang dilarutkan 10 kali (Menaldi, Bramono, & Indriatmi, 2015).

Pemeriksaan Penunjang pada Pioderma

Sebagaimana infeksi bakteri lainnya, pada pemeriksaan darah dapat ditemukan leukositosis. Pemeriksaan yang dapat dilakukan pada kasus pioderma antara lain kultur dan tes resistensi pada kasus kronis dan sukar sembuh. Ada kemungkinan bahwa penyebabnya bukan Gram positif, melainkan Gram negatif. Tes resistensi bersifat sebagai penyokong. Selain itu, kadangkala hasil in vivo tidak sesuai dengan in vitro (Menaldi, Bramono, & Indriatmi, 2015).

 

ISI

 

Pioderma pada Bayi dan Anak-Anak

 

Pioderma yang sering ditemukan pada anak-anak, antara lain (Menaldi, Bramono, & Indriatmi, 2015):

  • Impetigo (impetigo krustosa, impetigo bulosa, dan impetigo neonatorum),
  • Ektima,
  • Abses multipel kelenjar keringat,
  • Staphylococcal Scalded Skin Syndrome.

Impetigo

Impetigo merupakan pioderma superfisialis (terbatas pada epidermis). Jenis impetigo meliputi impetigo krustosa, bulosa, dan neonatorum (Menaldi, Bramono, & Indriatmi, 2015).

  • Impetigo Krustosa

Impetigo ini disebut juga impetigo kontagiosa, impetigo vulgaris, impetigo Tillbury Fox. Penyebab utamanya adalah Streptococcus B haemolyticus. Impetigo jenis ini biasa terjadi pada anak-anak. Gejala klinisnya tidak disertai gejala sistemik. Predileksi berada di wajah, sekitar lubang hidung, dan mulut. Sumber infeksi dianggap dari daerah tersebut. Kelainan kulit berupa eritema dan vesikel yang memecah sehingga jika pasien datang berobat tampak krusta tebal berwarna kuning seperti madu. Jika dilepaskan, akan tampak erosi di bawahnya. Komplikasi dari impetigo krustosa adalah glomerulonefritis pada tipe tertentu (Menaldi, Bramono, & Indriatmi, 2015).

Diagnosis banding impetigo krustosa adalah ektima. Tatalaksana berupa pelepasan krusta, jika krusta sedikit. Lalu diberi salep antibiotik. Jika krusta banyak, dapat diberikan antibiotik sistemik.

Komplikasi dapat berupa glomerulonefritis pascastreptokokal, meski jarang ditemukan. Keadaan ini terjadi 18-21 hari setelah infeksi akibat kompleks antibodi-antigen yang terbentuk terhadap komponen Streptococcus. Kompleks imun ini terbentuk pada glomerulus dan menyebabkan inflamasi lokal sehingga terjadi glomerulonefritis (Menaldi, Bramono, & Indriatmi, 2015).

  • Impetigo Bulosa

Nama lain impetigo ini adalah impetigo vesikobulosa atau cacar monyet. Penyebab utamanya adalah Staphylococcus aureus. Kondisi medis sistemik tidak dipengaruhi. Predileksi terletak pada ketiak, dada, dan punggung. Seringkali kejadian ini bersama-sama dengan miliaria. Impetigo bulosa terjadi baik pada anak-anak maupun dewasa. Kelainan kulit berupa eritema, bula, dan bula hipopion. Vesikel atau bula yang sudah pecah biasanya menampilkan gambaran kolaret dengan dasar eritematosa.

Diagnosis bandingnya adalah dermatofitosis pada kondisi vesikel atau bula telah pecah. Oleh karena itu, perlu ditanyakan pada anamnesis mengenai adanya lepuh sebelumnya.

Jika hanya beberapa vesikel atau bula, tatalaksananya adalah dengan dipecahkan lalu diberi salep antibiotik atau cairan antiseptik. Jika banyak, diberikan antibiotik sistemik. Faktor predisposisi perlu dicari. Jika banyak keringat, ventilasi perlu diperbaiki (Menaldi, Bramono, & Indriatmi, 2015).

  • Impetigo Neonatorum

Impetigo neonatorum merupakan varian impetigo bulosa yang terdapat pada neonatus. Kelainan serupa dengan impetigo bulosa, tetapi lokasinya lebih menyeluruh. Demam juga dapat terjadi.

Diagnosis bandingnya adalah sifilis kongenital. Pada kondisi tersebut, bula terdapat juga pada telapak tangan dan kaki, terdapat snuffle nose, saddle nose, dan pseudoparalisis Parrot. Pengobatan berupa antibiotik sistemik. Pemberian bedak salisilat 2% juga dapat diberikan secara topikal (Menaldi, Bramono, & Indriatmi, 2015).

 

Ektima

Ektima merupakan infeksi pioderma pada kulit dengan karakteristik berbentuk krusta disertai ulserasi. Ektima menyerang epidermis dan dermis membentuk ulkus dangkal yang ditutupi oleh krusta berlapis, biasanya terdapat pada tungkai bawah. Faktor predisposisi yang dapat menyebabkan timbulnya penyakit ini adalah sanitasi yang buruk, menurunnya daya tahan tubuh, serta adanya riwayat penyakit kulit sebelumnya (Menaldi, Bramono, & Indriatmi, 2015).

Insidensi ektima di seluruh dunia tepatnya tidak diketahui. Frekuensi terjadinya ektima berdasarkan umur  terdapat pada anak-anak, dewasa muda dan orang tua, tidak ada perbedaan ras dan jenis kelamin, pria dan wanita sama (Shou et al, 2009).

Dari hasil penelitian epidemiologi didapatkan bahwa tingkat kebersihan dari pasien dan kondisi kehidupan sehari-harinya merupakan penyebab terpenting yang membedakan angka kejadian, beratnya ringannya lesi, dan dampak sistemik yang didapatkan pada pasien ektima (Wasserzug, 2009).

Salah satu diagnosis banding ektima adalah folikulitis sebab predileksi penyakit ini biasanya di tungkai bawah dengan kelainan berupa papula atau pustula yang eritematosa. Perbedaannya, pada folikulitis terdapat rambut di tengah papula atau pustula dan biasanya multipel (Hunter, 2003).

Diagnosis banding yang kedua adalah impetigo krustosa karena memberikan gambaran efloresensi yang hampir sama yaitu berupa lesi yang ditutupi krusta. Hanya saja pada impetigo krustosa lesi biasanya lebih dangkal, krustanya lebih mudah diangkat, dan tempat predileksinya pada wajah dan punggung serta terdapat pada anak-anak sedangkan pada ektima lesi biasanya lebih dalam berupa ulkus, krustanya lebih sulit diangkat dan tempat predileksinya biasanya pada tungkai bawah serta bisa terdapat pada usia dewasa muda. Pada ektima didapatkan efloresensi yang khas, yaitu adanya ulkus superfisial yang disertai adanya krusta tebal cokelat kehitaman (Hunter, 2003).

Apabila jumlah sedikit, krusta diangkat dan diberikan antibiotik topikal. Jika ditemukan dalam jumlah banyak, diberikan antibiotik sistemik (Djuanda, 2013). Komplikasi ektima, antara lain selulitis, erisipelas, gangren, limfangitis, limfadenitis supuratif, gejala sistemik serta bakteremia kadang terlihat (Davis, 2016).

 

Abses Multipel Kelenjar Keringat

 

Abses multipel kelenjar keringat adalah infeksi pada kelenjar keringat berupa abses multipel tidak nyeri berbentuk kubah. Umumnya disebabkan oleh Staphylococcus aureus. Kondisi ini paling sering pada anak-anak. Biasanya muncul saat daya tahan tubuh turun (karena malnutrisi, morbili) atau banyak keringat (Menaldi, Bramono, & Indriatmi, 2015).

Gambaran lesi yang muncul dapat berupa nodus eritematosa multipel, tidak nyeri, berbentuk kubah, dan lama pecah. Lokasinya di tempat yang banyak keringat. Kelainan ini mirip dengan furunkulosis, tetapi pada furunkulosis terasa nyeri, bentuknya seperti kerucut dengan pustula di tengah, dan relatif lebih cepat memecah. Tatalaksana yang dapat diberikan adalah antibiotik sistemik dan topikal. Selain itu, faktor predisposisi juga perlu diperhatikan untuk ditangani (Menaldi, Bramono, & Indriatmi, 2015).

Staphylococcal Scalded Skin Syndrome

Staphylococcal Scalded Skin Syndrome merupakan infeksi kulit oleh Staphylococcus aureus dengan ciri epidermolisis. Etiologi penyakit ini adalah bakteri Staphylococcus aureus grup II faga 52, 55, dan/atau 71 (Menaldi, Bramono, & Indriatmi, 2015).

Patogenesis sindrom ini berawal dari infeksi pada mata, hidung, tenggorok, dan telinga. Mikroorganisme penyebab infeksi melepaskan toksin eksfoliatif yang beredar di seluruh tubuh. Zat ini bersifat epidermolitik dan menyebabkan kerusakan epidermis. Pada orang dewasa dengan fungsi ginjal yang baik, eksotoksin ini dengan cepat dikeluarkan lewat urin. Sedangkan pada anak dan bayi yang diduga mempunyai fungsi ginjal yang belum sempurna, terjadi pengeluaran eksotoksin tidak berjalan dengan cepat sehingga penyakit ini seringkali menyerang kelompok usia itu (Menaldi, Bramono, & Indriatmi, 2015).

Manifestasi klinis dimulai dengan demam tinggi dan infeksi saluran napas atas. Kemudian kelainan kulit yang pertama ditemukan adalah eritema pada wajah, leher, ketiak, dan lipat paha. Lesi ini kemudian menyebar ke seluruh tubuh dalam 24 jam. Setelah 24-48 jam, muncul bula-bula besar yang dangkal dan rapuh. Dasar dari lepuh tersebut terasa nyeri.

Kemudian kulit yang tampak normal akan mengelupas apabila dilakukan penekanan dan penggeseran. Tanda ini disebut tanda Nikolsky. Dalam 2-3 hari terjadi pengeriputan dan pengelupasan kulit. Pada pemeriksaan histologis akan tampak celah pada stratum granulosum. Mukosa jarang diserang, tetapi pasien kadang-kadang dapat mengeluarkan sekret mukopurulen dari mata. Penyembuhan akan terjadi setelah 10-14 hari tanpa menyisakan sikatriks (Menaldi, Bramono, & Indriatmi, 2015).

Diagnosis terhadap penyakit ini harus dilakukan dengan teliti karena seringkali diduga sebagai eritema multiformis atau nekrolisis epidermal toksik yang dapat disembuhkan dengan kortikosteroid. Hal ini karena nekrolisis epidermal toksik merupakan reaksi hipersensitivitas, biasanya terhadap obat (Baorto, 2016).

Diagnosis yang salah dapat menunda kesembuhan dan meneruskan proses pengelupasan. Terapi kortikosteroid akan menyebabkan superinfeksi. Tingkat mortalitas memang sedikit di antara anak-anak. Namun demikian, akibat fatal tetap bisa terjadi apabila terdapat kesalahan diagnosis (Baorto, 2016).

Tatalaksana penyakit ini dengan pemberian antibiotik dan memerhatikan keseimbangan cairan dan elektrolit. Komplikasi Staphylococcal Scalded Skin Syndrome dapat berupa selulitis, pneumonia, maupun septikemia (Baorto, 2016). Kematian dapat terjadi akibat gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit ataupun sepsis (Menaldi, Bramono, & Indriatmi, 2015).

DAFTAR PUSTAKA

Baorto, E. P. (2016, Juni 30). Staphylococcus aureus Infection. Diunduh pada Juli 19, 2016, dari Medscape: http://emedicine.medscape.com/article/971358-overview

Chiller, K., Selkin, B. A., & Murakawa, G. J. (2001). Skin microflora and bacterial infections of the skin. J Investig Dermatol Symp Proc, 6 (3), 170-174.

Davis, L. (2016, Januari 7). Ecthyma Treatment and Management. Diunduh pada Juli 19, 2016, dari Medscape: http://emedicine.medscape.com/ article/ 1052279-treatment#d2

Hunter, J. (2003).Bacterial Infections. Dalam: Clinical Dermatology (3 ed.) (pp. 190-191). USA: Blackwell Science.

Menaldi, S., Bramono, K., & Indriatmi, W. (2015). Pioderma. In S. Djuanda, M. Hamzah, & S. Aisah, Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin (7 ed.) (pp. 71-77). Jakarta: FKUI.

Pangow, C. C., Pandaleke, H. E., & Kandou, R. T. (2015). Profil Pioderma pada Anak di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP PROF. DR. R. D. Kandou Manado Periode Januari-Desember 2012. eCl, 3 (1), 217-223.

Shou K, et al. (2009). Cutaneus Bacterial Infection. Dalam: Pediatric Dermatology: A colour atlas and synopsis (2 ed.) (pp.354-355). New York: The McGraw Hill.

Wasserzug, O. (2009). A cluster of ecthyma outbreaks caused by a single clone of invasive and highly infective Streptococcus pyogenes. Clin Infect Dis, 48 (9), 1213-1219.

WHO. (2012, Mei 15). Epidemiology and Management of Common Skin Diseases in Children in Developing Countries. Diunduh pada Juli 18, 2016, dari World Health Organization: http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/69229/ 1/WHO _FCH_CAH_05.12_eng.pdf

 

Read Full Post »

TINEA CAPITIS PADA ANAK

PENGENALAN, EVALUASI, DAN ANJURAN PENATALAKSANAAN

BRENT D. MICHAELS, DO; JAMES Q. DEL ROSSO, DO, FAOCD

J Clin Aesthet Dermatol. 2012 Feb; 5(2): 49–59

Abstrak

 

          Tinea Capitis adalah infeksi yang cukup umum di kalangan populasi anak; namun, penyakit ini juga masih relatif jarang ditemukan pada anak dibawah usia 1 tahun. Oleh karena itu, indeks kecurigaan yang tinggi diperlukan untuk mendiagnosis dan penegakan diagnosis yang sesuai sebaiknya dilakukan dalam setiap kasus dimana infeksi dermatofit dicurigai. Beberapa metode telah tersedia untuk mendiagnosis. Selain itu, identifikasi yang tepat untuk dermatofit tertentu yang terlibat harus dipertimbangkan sebagai pilihan pengobatan berdasarkan patogen penyebabnya. (J Clin Aesthet Dermatol. 2012;5(2):49-59.)

     Infeksi tinea capitis mengalami kenaikan insidensi di Amerika utara dan terus menjadi perhatian kesehatan masyarakat. Faktanya, infeksi tine capitis telah digambarkan sebagai “epidemik modern”. Ini merupakan diagnosis dermatofitosis tersering pada masa anak-anak dan lebih sering terlihat pada masa pra-remaja. Bahkan, seperti pernyataan oleh Boni Elewski,MD, seorang pakar internasional tentang infeksi mikosis kulit, bahwa ketika kulit kepala seorang anak diperiksa, “infeksi jamur harus selalu dicurigai sampai terbukti tidak ada”. Namun, diantara bayi, infeksi yang terjadi masih langka ditemukan. Penegakan diagnosis yang rumit pada anak-anak disebabkan adanya variabilitas dalam gejala klinis. Untuk alasan ini, indeks kecurigaan dibutuhkan untuk mendiagnosis, sebagai salah satu diagnosis yang paling mungkin terjadi sebelum dibuatnya diagnosis yang tetap. Praktisi harus melakukan pendekatan pada setiap kasus infeksi dermatofit potensial tanpa memandang usia, yang meliputi pemeriksaan mikroskopis langsung dan kultur jamur.

     Dua jenis dermatofit yang bertanggung jawab untuk infeksi tinea capitis adalah Trichophyton tonsurans dan Microsporum canis, dimana T. tonsurans merupakan penyebab paling umum dari tinea capitis di Amerika Serikat. Namun, insidensi M.canis juga meningkat di beberapa negara bagian Eropa dan Ameriksa Serikat. Untuk mendiagnosis, ada beberapa metode yang tersedia untuk mengidentifikasi infeksi tinea capitis. Dari segi perawatan, terapi standar untuk tinea capitis adalah  griseofulvin oral. Namun, bergantung pada patogen spesifik yang teridentifikasi, regimen pengobatan mungkin dapat berbeda.

  1. LAPORAN KASUS

     Seorang gadis Kaukasia berusia 8 bulan dengan riwayat adanya “ruam” di kulit kepala selama 7 bulan. Perawatan sebelumnya termasuk krim kortikosteroid topikal yang tidak diketahui dan yang paling baru, krim nystatin topikal. Ibu pasien melaporkan perbaikan minimal dengan krim nystatin, tetapi setelah penghentian krim, ruam kembali ke keadaan sebelum terapi diberikan. Pemeriksaan klinis dan anamnesia riwayat dahulu mengungkapkan bayi perempuan yang sehat dan tidak memiliki riwayat medis atau bedah yang signifikan dan tumbuh kembang anak yang normal. Ibu mencatat tidak ada perubahan perilaku pada pasien sejak munculnya erupsi di kulit kepala. Riwayat infeksi “kurap” dari kucing peliharaan di rumah dan telah mendapat pengobatan lanjutan dari dokter hewan. Kucing tersebut mendapat pengobatan lengkap sekitar 2 bulan sebelum ibu mencatat adanya “ruam” di kulit kepala anaknya. Tidak ada orang lain di rumah yang memiliki masalah kulit kepala atau kulit di daerah lain.

     Pada pemeriksaan fisik, didapatkan adanya lesi difus, eritematous, bercak tidak jelas dengan daerah fokal yang terkelupas dan hiperkeratosis pada kulit kepala, terutama pada daerah vertex (Gambar 1). Anak tersebut memiliki rambut difus yang tipis, yang tidak berubah dari sejak dahulu menurut ibunya, dengan tidak adanya alopecia yang dicatat secara klinis. Pemeriksaan fisik menunjukkan keadaan yang aktif dan sehat, dengan tidak adanya lesi kulit abnormal lain selain dari erupsi kulit kepala yang disertai dengan ibu yang sangat cemas. Tidak ada daerah dengan pustulasi, erosi, indurasi atau peradangan pada kulit kepala, dan tidak ditemukan adanya adenopati servikal dan occipital pada palpasi.

     Berdasarkan riwayat anamnesis dan pemeriksaan fisik, kerokan dari kulit kepala yang terlibat diambil sebagai sampel serta diambil juga rambut dari kulit kepala yang terkena, dan semua specimen diletakkan pada gelas objek di mikroskop. Selanjutnya diberikan Kalium Hidroksia (KOH) 10% dengan dimethyl sulfoxide (DMSO) untuk pemeriksaan dengan mikroskop cahaya (preparasi KOH). Kerokan dan sampel rambut dari kulit kepala juga ditempatkan pada medium uji dermatofit untuk kultur jamur. Pemeriksaan KOH memperlihatkan pola ektotriks rambut dari invasi poros rambut oleh jamur dengan banyak spora yang terletak di luar permukaan poros rambut dan adanya beberapa hifa panjang bercabang juga tercatat (gambar 2A,B). Hasil medium uji dermatofit dinilai pada hari ke-7 mengungkapkan pertumbuhan positif dengan koloni berbulu putih dan mengubah warna medium dari kuning menjadi merah, mengindikasikan pertumbuhan dari dermatofit. Adanya hasil kultur positif kemudian dikirim ke bagian mikrobiologi untuk mengindentifikasi genus dan spesies khusus dari infeksi jamur tersebut. Adanya infeksi jamur yang telah tumbuh pada specimen dermatofit di media uji tersebut biasanya erat dikaitkan dengan M.canis. Menariknya, ada riwayat kucing dengan “kurap” dimasa lalu, yang apabila ini merupakan dermatofitosis yang menyerang kucing, akan menjadi penjelasan yang sangat menarik untuk infeksi M.canis, dimana infeksi ini mungkin menyebabkan kejadian infeksi pada anak tersebut, misalnya kucing tersebut sering tidur di sebelah bayi selama tidur siang.

     Pengobatan dimulai pada kunjungan pertama setelah hasil KOH positif. Rasio dari risiko-manfaat berbagai pilihan harus didiskusikan, termasuk penjelasan bahwa tine capitis merupakan penyakit dengan respon yang buruk terhadap terapi topikal saja, sehingga memerlukan pengobatan dengan terapi antijamur oral. Bayi tersebut perlu diberikan griseofulvin suspense 125mg/5cc dan diberitahukan untuk diberikan dua kali satu sendok teh sehari untuk mencapai dosis 25mg/kg/hari oral griseofulvin. Pasien juga diberikan sampo ciclopirox 1% untuk digunakan setiap hari dan diberikan petunjuk untuk menghindari berbagai sisir, sikat dan handuk yang digunakan untuk mengeringkan kulit kepala anak. Pasien diterapi selama 8 minggu dengan pemberian 2 pengobatan tersebut. Setelah 2 minggu pengobatan, tercatat adanya perbaikan, dan perbaikan klinis lengkap dicapai dalam 8 minggu (Gambar 3A,3B). Pemeriksaan KOH tambahan perlu dilakukan pada daerah kulit kepala dan rambut di daerah kulit yang terkena. Hal ini dilakukan setelah akhir pengobatan (8 minggu) dan ditemukan hasil negative pada berbagai elemen jamur. Tidak ada efek samping obat yang dilaporkan oleh ibu, dengan regimen pengobatan yang ditoleransi dengan sangat baik.

     Selain itu, kucing di rumah keluarga tersebut diperiksa ulang oleh dokter hewan segera setelah diagnosis tinea capitis dibuat, dan perlu dipikirkan pemberian profilaksis infeksi dermatofit, meski tidak ada bukti adanya infeksi kucing.

  1. PEMBAHASAN

     Tinea capitis merupakan infeksi dermatofita yang melibatkan kulit kepala, dengan karakteristik adanya keterlibatan batang rambut dan kulit sekitar. Secara keseluruhan, terdapat lebih dari 40 spesies dermatofita; walaupun demikian, spesies yang menyebabkan infeksi kulit terbatas jumlahnya, yaitu antara 6 sampai 8 spesies yang menyebabkan tinea capitis di seluruh dunia.

     Dermatofita yang menyebabkan tinea capitis dibagi berdasarkan tempat hidupnya; anak-anak merupakan kelompok usia yang paling sering terkena.

     Dermatofita yang menyebabkan tinea capitis di Amerika Serikat. Saat ini, terdapat 2 dermatofita utama yang menyebabkan tinea capitis di Amerika Serikat yaitu T. tonsurans dan M. canis. Sejauh ini, T. tonsurans merupakan penyebab yang paling sering, “tercatat lebih dari 95 persen kultur positif di Amerika Serikat”. Pada bagian lain dunia, spesies dermatofita yang menyebabkan tinea capitis berbeda-beda pada setiap negara. Insidensi tinea capitis di Amerika Serikat diperkirakan antara 3 sampai 8 persen; insidensi ini dilaporkan akan meningkat. Walaupun tinea capitis dapat menyerang semua usia, didapatkan dari laporan kasus bahwa usia paling awal yang terkena yaitu 6 hari dan usia paling tua adalah 70 tahun, di mana sebagian besar kasus tinea capitis menyerang usia prepubertas, rata-rata antara 3 dan 7 tahun. Dari satu studi menunjukkan bahwa prevalensi pada anak usia sekolah mencapai 13 persen. Tinea capitis, bagaimanapun, masih merupakan kasus yang relatif jarang pada bayi. Satu referensi menyatakan bahwa hanya 50 kasus tinea capitis dilaporkan terjadi pada bayi di bawah umur satu tahun.

     Dermatofita yang menyebabkan tinea capitis dapat diklasifikasikan berdasarkan lokasi hidupnya: golongan antropofilik (manusia), misalnya T. tonsurans; golongan zoofilik (hewan), misalnya M. canis; dan golongan geofilik (tanah), misalnya M. gypseum. Sumber infeksi tinea capitis pada anak-anak biasanya dermatofita golongan antropofilik atau zoofilik. Walaupun infeksinya berasal dari golongan zoofilik, sumber transmisi utama tinea capitis pada bayi tetap berasal dari anggota keluarga yang menularkan organisme secara langsung, atau bila dalam kasus golongan antropofilik, dapat ditularkan dari lokasi infeksi aktif atau melalui karier yang asimptomatik, karena tidak semua manusia menunjukkan infeksi secara klinis ketika terpapar golongan antropofilik. Respon pejamu terhadap golongan antropofilik yang beragam memang sering ditemukan, termasuk T. tonsurans, di mana individu yang terinfeksi bervariasi mulai dari karier asimptomatik, adanya bercak tanpa reaksi radang atau reaksi radang minimal, sampai inflamasi cepat pada regio yang terinfeksi akibattingginya intensitas respons sel radang pejamu terhadap organisme spesifik. Dengan kata lain, karier asimptomatik dapat terjadi pada individu yang sebenarnya imunukompeten, tetapi memiliki “immunologic blind spot” terhadap dermatofita tertentu. Jadi, karier dapat menularkan dermatofita (misalnya T. tonsurans) kepada orang lain yang pada akhirnya menunjukkan adanya infeksi secara klinis, walaupun karier tersebut tidak menunjukkan adanya gejala. Karier dermatofita asimptomatik dapat ditemukan pada kulit kepala anak-anak maupun dewasa.

     Berbagai cara transmisi tinea capitis. Dermatofita memiliki reservoir yang beranekaragam, sehingga menjadikan tinea capitis amat menular.Transmisi spora melalui orang-ke-orang, misalnya di antara anggota keluarga, teman sekelas, dan bayi di pusat-pusat penitipan anak. Kontak dengan hewan dan benda mati juga merupakan sumber infeksi yang potensial. Benda mati yang berperan dalam transmisi antara lain topi, sisir, handuk, sofa, bantal, rambut yang rontok, seprai, karpet, gagang telepon, sel-sel epitel yang terkelupas, tanah, dan mainan. Dermatofita merupakan organisme yang memiliki daya tahan hidup yang panjang, yang berperan dalam penyebaran tinea capitis. Dermatofita, yang berpotensi menular, dapat ditemukan pada benda mati selama berbulan-bulan, bahkan dapat mencapai dua tahun pada helaian rambut.

     Anak-anak usia prepubertas lebih cenderung terkena tinea capitis karena minimalnya produksi sebum, yang sebenarnya tinggi akan lemak (seperti asam lemak, prekursor lemak tertentu) dan bersifat fungistatik.

     Bentuk invasi terhadap batang rambut. Selain dapat dibedakan menurut tipe-tipe transmisi, tinea capitis juga dapat dikelompokkan berdasarkan bentuk invasinya terhadap rambut, yaitu endotriks, ektotriks, dan favus. Pada tipe ektotriks, jamur tumbuh di dalam folikel rambut dan menutupi permukaan rambut, sehingga spora-spora jamur (dan terkadang hifa) dapat terlihat pada permukaan luar batang rambut. Pada tipe endotriks, dermatofita menuju ke bawah folikel rambut, menginvasi batang rambut, dan tumbuh di dalam batang rambut. Jadi spora-spora jamur tertahan di dalam batang rambut, sering tampak seperti “a bag of marbles”. Secara umum, dermatofita endotriks meliputi spesies dari Microsporum, dengan pengecualian. Pada tipe favus, organisme penyebab yang utama yaitu T. schoenleinii, yang pada pemeriksaan mikroskopik menunjukkan hifa yang tersusun paralel terhadap batang rambut, bersama dengan gelembung-gelembung udara pada batang rambut. Secara klinis, favus tampak batang rambut sebagai yellow “cup-shaped” crusting atau disebut skutula, dan disertai rambut yang tampak kusam pada kulit kepala. Pada pemeriksaan lampu Woods, favus tampak berfluoresensi abu-abu kehijauan. Rambut yang terinfeksi T. tonsurans tidak berfluoresensi pada paparan lampuWoods karena adanya pola pertumbuhan endotriks. Tinea capitis yang diakibatkan oleh M. canis menunjukkan fluoresens biru kehijauan pada paparan lampu Woodskarena invasi pada rambut bersifat ektotriks.

     Gejala klinik tinea capitis. Beberapa pola gambaran klinis tinea capitis meliputiseborrheic dermatitis-like, tipe black dot, tipe alopecia areata, kerion, dan favus. Ada beberapa istilah tambahan untuk mendeskripsikan pola gambaran klinis tinea capitis termasuk gray-type, moth-eaten, dan tipe pustular. Pola gambaran klinis tinea capitis yang muncul pada pasien dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti genus dan spesies dermatofita, dan respon pejamu. Infeksi dermatofita juga melibatkan lokasi kulitsekitar, sehingga derajat inflamasi yang timbul juga menggambarkan intensitas respon pejamu serta dermatofita penyebabnya. Banyak ditemukan limfadenopati servikal dan/atau oksipital pada kasus tinea capitis pada anak-anak, dan reaksi “id” juga dapat timbul khususnya setelah terapi awal dengan agen antifungaloral.

     Pola yang paling sering timbul di Amerika Serikat adalah seborrhoic dermatitis-like yang tampak sebagai skuama difus, yang biasanya dihubungkan dengan eritema, tanpa alopecia setempat. Presentasi klinis ini sering salah didiagnosis sebagai dermatitis seboroika dan berujung pada terapi yang keliru, seringnya dengan kortikosteroid topikal. Padahal terapi yang esensial untuk kasus tinea kapitis adalah agen antifungal untuk menghilangkan penyebab, jadi penggunaan shampoo antifungal yang biasanya diresepkan untuk dermatitis seboroika tidak adekuat untuk menghilangkan infeksi jamur. Pola gambaran klinis lain pada anak-anak yang sering muncul di Amerika Serikat yaitu pola yang sering tampak pada T. tonsurans, yaitu bercak bulat-lonjong berskuama, dengan atau tanpa kerontokan rambut setempat dan inflamasi minimal-hingga-tidak ada, bercak bulat-lonjong akibat kehilangan rambut dengan bintik-bintik hitam yang tumbuh intrafolikular rambut yang menyebabkan rambut patah dan rontok ketika batang rambut muncul ke permukaan kulit (“black dot” fungus), bercak skuama bulat-lonjong berwarna abu-abu keperakan tanpa inflamasi (gray-type) seperti tampak pada Gambar 5 dengan pemeriksaan KOH pada pasien dengan tipe endotriks (Gambar 4), bercak bulat-lonjong dari kulit yang tampak mengilat tanpa rambut dan tanpa inflamasi (tipe alopecia areata), dan bercak peradangan atau plak  bulat-lonjong dengan kehilangan rambut yang biasanya tampak pada infeksi M canis.

     Diagnosis Banding dan Penyakit yang Menyerupai. Variasi pola gejala klinis yang luas dan kenampakan penyakit yang mirip dengan gangguan klinis lainnya dalam beberapa kasus (misalnya, dermatitis seboroik, alopecia areata) dapat membaurkan diagnosis yang akurat dari tinea kapitis. Hal ini terutama berlaku pada populasi bayi karena tinea kapitis adalah entitas yang langka dan mungkin dengan mudah dianggap sebagai dermatitis seboroik (“cradle cap”), diagnosis yang jauh lebih sering terjadi pada kelompok usia ini. Kenyataannya, tanda presentasi yang paling umum tinea kapitis pada bayi adalah kulit bersisik, meskipun alopesia juga telah dilaporkan sebagai temuan klinis umum. Penting bagi dokter untuk mengingat beberapa kondisi dermatologis lain yang dapat hadir dengan kulit kepala bersisik pada anak-anak, termasuk diagnosis yang umum, seperti dermatitis seboroik dan psoriasis, dan gangguan langka, seperti histiositosis sel Langerhans, dermatomiositis, pitiriasis rubra pilaris, leukemia kutis, dan pemfigus foliaseus. Oleh karena itu, mengingat jarangnya tinea pada masa bayi, tingginya indeks kecurigaan dibenarkan bila bayi mengalami gejala mirip dermatitis seboroik seperti erupsi kulit kepala yang menyertai tanda-tanda klinis seperti alopesia atau rambut menipis.

     Dermatofit Dikaitkan dengan Tinea Kapitis pada Bayi. T. tonsurans masih merupakan dermatofit penyebab paling umum tinea kapitis di Amerika Serikat. Namun, dalam hal spesies penyebab spesifik pada bayi, M. canis tampaknya juga menjadi salah satu dermatofit dominan yang menyebabkan infeksi di seluruh dunia, termasuk Amerika Serikat. Ini disebabkan oleh kontak umum dengan hewan peliharaan rumah yang dianggap aman di sekitar anak-anak, termasuk bayi. Sumber utama infeksi untuk tinea kapitis yang disebabkan oleh infeksi M. canis adalah kucing dan anjing. Di daerah tertentu di Spanyol, 90 persen kasus tinea kapitis pada bayi antara tahun 1991 dan 1995 disebabkan oleh M. canis. Selain itu, dalam literatur Spanyol dan Inggris telah dilaporkan berbagai kasus tinea kapitis pada bayi yang menunjukkan dominasi dermatofit M. canis sebagai penyebab. Observasi ini lebih lanjut didukung oleh laporan dari Italia bahwa 9 dari 15 kasus tinea pada bayi disebabkan oleh M. canis. Dengan demikian, berdasarkan setidaknya pada laporan-laporan di Eropa, meskipun T. tonsurans dapat menyebabkan tinea kapitis pada bayi, M. canis umumnya merupakan patogen pelaku dalam kelompok usia ini, dan hewan peliharaan rumah, biasanya kucing, sering menjadi sumber reservoar M. canis.

     Diagnosis Tinea Kapitis. Mengingat kelangkaan tinea kapitis pada bayi, indeks kecurigaan yang tinggi diperlukan pada setiap bayi dengan kulit bersisik dan/atau alopesia. Diagnosis yang didasarkan hanya pada penyajian gejala klinis seringkali sulit, dan penuh dengan potensi misdiagnosis. Jika dicurigai infeksi tinea kapitis, baik persiapan KOH dan kultur jamur sangat penting untuk diagnosis. Untuk pemeriksaan mikroskop cahaya, kerokan kulit bersisik dan sampel rambut yang terkena harus ditempatkan pada gelas objek mikroskop dan harus ditambahkan 10 sampai 20 persen KOH. KOH dengan DMSO lebih disukai oleh penulis karena ini mengurangi kebutuhan untuk fiksasi dengan panas pada gelas objek. Untuk kultur, rambut dan sampel kulit kepala harus ditempatkan pada Sabouraud dextrose agar dengan kloramfenikol dan cycloheximide, dermatofit identifikasi menengah atau DTM. Pertumbuhan pada DTM biasanya terjadi dalam 1 sampai 2 minggu. Namun, pertumbuhan jamur pada kultur kadang membutuhkan waktu 3 sampai 4 minggu pada beberapa media atau pada beberapa laboratorium. Sebelum mendapatkan sampel untuk kultur, daerah harus dibersihkan dengan alkohol untuk menghindari kontaminasi silang dengan bakteri. Ada beberapa metode untuk memperoleh sampel untuk kultur, termasuk menggunakan pisau bedah, menyikat rambut, mencabut rambut dengan forceps, atau menggunakan selotip. Metode kurang traumatis untuk memperoleh sampel kultur mencakup menyikat rambut dengan sikat gigi, dan sebagai alternatif, dengan apusan kapas steril atau kasa lembab pada area yang terkena. Harus ditekankan bahwa menggunakan metode yang kurang traumatis bila dibandingkan dengan mencabut rambut untuk memperoleh spesimen KOH dan kultur hanya boleh dilakukan bila hal ini tidak secara signifikan mengurangi potensi hasil positif adanya tinea kapitis.

     Berkenaan dengan alat bantu diagnosis yang berfungsi untuk mendukung  diagnosis klinis, ternyata hal ini penting untuk metode tes diagnosis. Sayangnya, beberapa dokter, terutama nondermatologis, mengandalkan pemeriksaan lampu Woods sebagai metode pembeda untuk diagnosis atau pengecualian dari tinea kapitis. Lampu Woods mungkin dapat membantu dalam infeksi ektotriks (yaitu, M. canis) dengan fluoresensi biru-hijau, meskipun sensitivitasnya rendah. Oleh karena itu, pemeriksaan lampu Woods yang positif mendukung diagnosis tinea kapitis. Namun, hasil pemeriksaan negatif tidak mengecualikan tinea kapitis. Identifikasi mikroskopis dengan preparat KOH berupa hifa panjang bercabang, seringkali dengan pembentukan sekat, menegaskan diagnosis. Namun, genus dan spesies dermatofit tetap tidak diketahui. DTM adalah media penapisan yang sangat efektif untuk kultur dermatofit, tempat untuk spesimen yang diperoleh dengan benar harus disiapkan baik-baik untuk mengurangi potensi kontaminasi oleh bakteri patogenik atau jamur, spesimen harus diperoleh dengan tepat, tutup pada botol disimpan longgar, dan media diperiksa setelah satu minggu dan setelah dua minggu inkubasi. Pertumbuhan positif dermatofit pada DTM terjadi hampir selalu dalam waktu dua minggu.

     Meskipun pertumbuhan bakteri dan/atau jamur kontaminan dapat muncul di DTM pada setiap titik waktu, potensi pertumbuhan kontaminan meningkat setelah dua minggu. Juga, pertumbuhan berlebih dari dermatofit penyebab oleh organisme kontaminan dapat terjadi dan dapat menghalangi sebuah rekognisi akurat koloni dermatofit pada DTM. Mengingat perbedaan dalam kerentanan beberapa genera dan spesies untuk masing-masing agen antijamur, identifikasi khusus dermatofit yang menyebabkan tinea kapitis mungkin secara klinis relevan dalam beberapa kasus. Oleh karena itu, jika dermatofit telah ditanam pada DTM, dan dokter tidak mampu menetapkan lebih lanjut dermatofit aktual yang hadir, botol DTM yang mengandung pertumbuhan jamur dapat dikirimkan ke laboratorium mikrobiologi atau mikologi yang mampu menentukan genus dan spesies dermatofit, seperti melalui sequencing asam deoksiribonukleat jamur (DNA).

     Kultur jamur dapat diperoleh dengan menggunakan media selain DTM, dengan media terinokulasi dikirim ke laboratorium mikologi tertuju. Laboratorium mikologi kemudian bertanggung jawab untuk inkubasi yang tepat, identifikasi organisme, dan pelaporan hasil. Hal terbaik adalah dokter bekerja sama secara langsung dengan laboratorium mikologi untuk memastikan bahwa laboratorium menyediakan media yang tepat untuk identifikasi dermatofit bersama dengan informasi tentang penyimpanan yang tepat dari media kultur sebelum digunakan, dan petunjuk transportasi.

     Misdiagnosis Tinea Kapitis. Adalah hal yang umum bahwa pengobatan tinea kapitis pada bayi seringkali ditunda, biasanya karena misdiagnosis. Sebagaimana tinea kapitis jarang pada masa bayi, diagnosisnya sering tidak disadari, terutama ketika erupsi mensimulasikan dermatitis seboroik pada kulit kepala, atau adanya pustulasi yang salah didiagnosis secara klinis sebagai infeksi bakteri. Telah dilaporkan bahwa hanya tujuh persen anak-anak dengan tinea kapitis yang menerima antijamur yang sesuai dari penyedia perawatan primer mereka sebelum rujukan ke dermatologis. Dalam salah satu penelitian terhadap anak-anak dengan salah diagnosis tinea kapitis, tiga didiagnosis sebagai dermatitis seboroik dan diobati dengan kortikosteroid topikal, tiga didiagnosis sebagai folikulitis bakteri dan diobati dengan antibiotik topikal, dan satu diobati dengan antibiotik oral untuk bakteri pada kerion sebagai diagnosis yang benar. Potensi misdiagnosis klinis yang tinggi pada tinea kapitis, terutama oleh dokter nonkulit, membuat dokter kulit lebih berkewajiban untuk memastikan bahwa tinea kapitis dapat diidentifikasi dan diobati pada kunjungan pertama. Keterlambatan diagnosis dan/atau pengobatan yang tidak tepat dapat menyebabkan keterlibatan kulit kepala yang lebih luas, penyebaran ke lokasi nonkulit kepala seperti wajah, dan jika peradangan signifikan hadir (yaitu, kerion), dapat terjadi alopesia jaringan parut. Selain itu, tinea kapitis dapat menular dan menyebar ke anggota keluarga lainnya atau jika kontak dekat lainnya terjadi.

     Manajemen Tinea Kapitis. Manajemen tinea kapitis melibatkan lebih dari sekedar memilih obat yang benar. Infeksi ini sering terjadi pada anak sehingga menghilangkan ketakutan orangtua dan kekhawatiran mengenai penyakit dan/atau pengobatan dengan terapi antijamur oral merupakan tanggung jawab besar bagi dokter. Juga, pertimbangan penyebab spesifik organisme berkaitan dengan pemilihan terapi, dosis harian, dan durasi pengobatan yang dapat diantisipasi, penggabungan terapi topikal antijamur tambahan, dan penanganan sumber penularan, yang mungkin meningkatkan penularan kepada orang lain adalah aspek penting untuk disampaikan pada orang tua dari anak-anak yang terkena penyakit ini. Ketika tinea kapitis menyerang bayi, sebagaimana pada anak berusia masih sangat muda, ketakutan orangtua dan kekhawatiran kemungkinan akan semakin meningkat.

     Pentingnya Terapi Antijamur Oral dalam Pengobatan Tinea Kapitis. Hampir tidak terkecuali, terapi antijamur oral diperlukan untuk memberantas tinea kapitis. Griseofulvin tetaplah perawatan yang sangat efektif untuk banyak kasus tinea kapitis yang disebabkan oleh Trichophyton spp dan Microsporum spp. Dosis harian yang memadai dan durasi yang tepat dari terapi dibutuhkan di setiap kasus individual. Berbeda dengan agen antijamur “baru”, yang meliputi agen allylamine, terbinafin, dan triazol, flukonazol dan itrakonazol, griseofulvin tidak bertahan dalam jaringan kulit untuk jangka waktu yang lama setelah penghentian sehingga sering memerlukan durasi terapi yang lebih lama dalam banyak kasus dalam rangka mencapai kesembuhan lengkap (kesembuhan klinis dan mikologis). Penting, meskipun penggunaan griseofulvin oral pada anak-anak awalnya terganggu oleh kekhawatiran berlebihan akan efek samping utama seperti hepatotoksisitas dan gangguan hematologis, efek samping seperti di atas telah terbukti sangat jarang pada orang dewasa dan anak-anak.

     Beberapa sumber referensi, menyarankan perlunya ketentuan durasi atau rentang durasi pengobatan untuk tinea kapitis. Rekomendasi umum ini dibuat karena hal tersebut efektif secara keseluruhan berdasarkan data yang tersedia, tetapi rekomendasi pengobatan ini tak selalu mengatasi semua kasus. Hampir tanpa pengecualian, “kasus khusus” ada pada semua status penyakit dan terapi untuk berbagai alasan, sehingga dokter perlu menyesuaikan terapi berdasarkan penilaian klinis dan indeks kecurigaan. Hal ini jelas bagi penulis berdasarkan literatur yang tersedia bahwa tidak semua kasus tinea kapitis merespon kepada sebuah “panduan pengobatan” terapi antijamur oral. Berdasarkan pada keparahan penyakit, patogen jamur tertentu, variasi sifat farmakokinetik dan farmakologi dari agen antijamur, dan/atau karakteristik individu pasien, program terapi yang lebih lama mungkin diperlukan.

     Dalam hal ini, tinea pada bayi, para penulis memilih untuk mengulang pemeriksaan mikroskopis dengan uji KOH pada akhir delapan minggu pengobatan griseofulvin, dengan erupsi yang tampak telah bersih. Tujuan dari tes ini adalah untuk lebih lanjut mengkonfirmasi penilaian klinis bahwa infeksi telah teratasi. Bila uji ulang KOH negatif, griseofulvin oral dihentikan pada saat itu. Selain uji KOH, wajar pula mengulangi kultur jamur (seperti dengan medium DTM) pada akhir pengobatan jika dokter merasa pengujian tambahan ini bermakna. Namun, uji KOH memungkinkan untuk penentuan langsung kebutuhan terapi antijamur yang lebih lama. Apabila hasil tes positif untuk elemen jamur, terapi dapat dilanjutkan pada waktu itu tanpa penundaan menunggu hasil kultur. Prinsip ini terutama berlaku untuk griseofulvin oral karena agen ini cenderung untuk tidak bertahan dalam jaringan setelah penghentian. Namun, dengan agen antijamur yang lebih baru (yaitu, terbinafin, flukonazol, itrakonazol), penuntasan mikologis tidak perlu dicatat sampai beberapa minggu setelah penghentian terapi (misalnya, 4-8 minggu), karena agen ini cenderung bertahan dalam struktur kulit (misalnya, epidermis, rambut, kuku) selama beberapa minggu setelah pemberian oral. Oleh karena itu, penilaian klinis adalah faktor utama dalam penentuan waktu penghentian terapi antijamur oral pada tinea kapitis.

     Agen antifungal oral individual untuk terapi dari tinea kapitis. Griseofulvin. Secara keseluruhan, griseofulvin tetap merupakan “gold standard” untuk obat antifungal oral pada pengobatan tinea kapitis di Amerika Serikat dan sudah disetujui oleh FDA untuk indikasi ini. Setelah penggunaan selama lima dekade, griseofulvin menunjukan profil keamanan jangka panjang yang sangat baik dan kemanjuran yang sudah terbukti, apabila diberikan dengan dosis yang sesuai berdasarkan berat badan pasen, dan berikan pada jangka waktu yang adekuat. Keamanan merupakan pertimbangan yang penting, terutama apabila berurusan dengan bayi. Efek samping yang paling umum diasosiasikan dengan griseofulvin oral adalah nyeri kepala, nyeri gastrointestinal (GI), dan rash, yang terjadi pada 15 persen pasien, dengan sebagian kasus menunjukan reaksi “id”. Efek samping GI dapat dikurangi apabila pengobatan disertai dengan konsumsi makanan. Efek samping yang jarang didapat adalah berbagai efek genitourinari, muskuloskeletal, sistem saraf, dan hematologis.

     Dua bentuk oral dari griseofulvin yang tersedia, microsized dan ultramicrosized, berhubungan dengan ukuran partikel dari zat aktif yang dimasukan kedalam obat. Bentuk sediaan ini didesain untuk menurunkan angka nyeri GI dan untuk meningkatkan absorbsi dari griseofulvin. Sediaan microsized memiliki keunggulan karena terdapat dalam sediaan cair, yang sangat diterima dan mudah untuk bayi dan anak kecil. Dosis optimal pada anak-anak didasarkan dari berat badan. Rekomendasi dosis harian griseofulvin microsized berkisar antara 10 sampai 25 mg/kg/hari. Namun, rekomendasi terbaru dari Amerika Serikat adalah 20 sampai 25 mg/kg/hari, yang berbeda dari label produk terdahulu yang disetujui. Pada umumnya, jangka waktu pengobatan 6 sampai 8 minggu direkomendasikan, dengan jangka waktu pengobatan yang lebih lama dibutuhkan untuk kasus pengobatan yang gagal. Satu laporan menyarankan jangka waktu pengobatan 6 sampai 12 minggu. Laporan yang lain menyarankan melanjutkan pengobatan griseofulvin oral selama dua minggu setelah hilangnya tanda dan gejala klinis dari tinea kapitis. Suspensi microsized oral mengandung 125mg/5mL. Untuk sediaan yang ultramicrosized, direkomendasikan dosis 10 sampai 15 mg/kg/hari; namun, lebih bijak apabila pengunaan dengan dosis tertinggi, terutama pada infeksi M. canis. Dengan griseofulvin oral, angka kesembuhan jamur dilaporkan diantara 80 sampai 95 dan angka kesembuhan total (kesembuhan jamur dan klinis) diantara 88 sampai 100 persen.

     The American Academy of Pediatrics (AAP) menyarankan dosis 10 sampai 20 mg/kg/hari untuk griseofulvin microsized dan 5 sampai 10 mg/kg/hari untuk ultramicrosized dalam dosis tunggal harian selama 4 sampai 6 minggu dengan kemungkinan lanjutan dari pengobatan selama dua minggu setelah tidak menunjukan gejala klinis dari tinea kapitis. Rekomendasi tersebut menunjukan dosis yang kecil, dengan para penulis merekomendasikan dosis inisial 20 mg/kg/hari pana anak dengan tinea kapitis, dengan peningkatan ke 25 mg/kg/hari pada kasus yang disebabkan oleh M. canis.

     Untuk bayi, regimen dengan dosis yang berbeda untuk griseofulvin dilaporkan efektif. Pada suatu studi meliputi tinea kapitis pada bayi, griseofulvin microsized merupakan antifungal yang tersering digunakan pada dosis 15 mg/kg/hari selama 45 sampai 60 hari, dan kebanyakan pasien yang menggunakan griseofulvin mengalami kesembuhan sempurna. Pada studi yang lain, kebanyakan bayi yang mendapatkan imidazol topikal dan griseofulvin oral (baik sediaan ultramicrosized dengan dosis 10 mg/kg/hari atau sediaan microsized dengan dosis 15 mg/kg/hari) selama 30 sampai 60 hari dan kesembuhan klinis dan eradikasi jamur didapatkan pada pasien, tanpa memperhatikan infeksi tersebut diakibatkan oleh spesies Trichophyton atau Microsporum.

      Namun, pengobatan efektif seringkali tengantung dari genus dan spesies dari dermatofita yang menyebabkan tinea kapitis. Untuk spesies Microsporum, griseofulvin masih merupakan agen antifungal oral yang disukai. Dalam guideline mengenai pengobatan dari tinea kapitis dari European Society of Pediatric Dermatology,  disimpulkan bahwa griseofulvin merupakan obat pilihan untuk spesies Microsporum, dengan efektivitas griseofulvin yang lebih baik dari terbinafin oral.

      Walaupun ada persamaan dalam efektivitas dan lama waktu pengobatan dengan griseofulvin, itraconazol dan flukonazol, griseofulvin memiliki harga yang lebih murah. Dalam Cochrane Review, griseofulvin juga merupakan pilihan pengobatan untuk tinea kapitis yang disebabkan oleh spesies Microsporum. Kebutuhan untuk pemberian dosis harian yang tinggi dan jangka pengobatan yang panjang dengan griseofulvin, agen antifungal lainnya yang belum disetujui oleh FDA diusulkan untuk alternatif pengobatan tinea kapitis yang disebabkan karena M. canis. Secara umum, jangka waktu pemberian dari griseofulvin oral untuk pengobatan dari tinea kapitis yang disebabkan oleh M. canis lebih lama dibanding dengan durasi pengobatan efektif dari T. tonsurans. Dengan pengobatan griseofulvin oral, aturan umum yang baik adalah pengobatan selama dua minggu setelah hilangnya tanda dan gejala klinis dari tinea kapitis.

     Itrakonazol. Sudah dilakukan penelitian untuk pengobatan tinea kapitis yang disebabkan oleh M. canis dengan itrakonazol oral. Dalam suatu studi, bayi berusia 3 sampai 46 minggu diobati dengan itrakonazol oral selama 3 sampai 6 minggu dengan dosis 5 mg/kg/hari menggunakan kapsul oral. Tidak hanya didapat kesembuhan jamur total, tidak juga didapatkan efek samping. Dosis pulsasi dari itrakonazol juga didapatkan efektif, diberikan dengan dosis 5 mg/kg/hari selama satu minggu setiap bulannya ( 1 minggu memakai 3 minggu tidak memakai) selama 2 sampai 4 bulan. Oleh karena kapsul obat berisi zat aktif yang dikemas dalam butiran kecil, maka kapsul tersebut dapat dibuka dan zat aktifnya dicampur dengan makanan sehingga mempermudah pemberian pada anak-anak. Oleh karena solusio oral dari itrakonazol lebih baik untuk diserap, dosis 3 mg/kg/hari direkomendasikan padan anak-anak; namun, oleh karena penggunaan siklodekstrin sebagai pelarut efek samping diare sering dijumpai pada sediaan cair.

     Dalam satu laporan, dosis pulsasi dari itrakonazol oral digunakan dalam pengobatan pasien berusia delapan bulan. Itrakoazol dengan dosis 6,5 mg/kg/hari diberikan untuk dua dosis pulsasi dengan jangka meminum obat selama 2 minggu total. Sejauh delapan minggu setelah pengobatan, tidak diapatakan adanya tanda infeksi dari pemeriksaan KOH dan kultur jamur didapatkan negatif. Oleh karena itu, itrakonazol oral merupakan terapi alternatif yang efektif untuk bayi dengan tinea kapitis yang disebabkan oleh M. canis, terutama melihat bahwa durasi terapi yang diberikan lebih pendek dari griseofulvin. Itrakonazol oral tidak disetujui oleh FDA dalam pengobatan tinea kapitis di Amerika Serikat.

      Terbinafin. Terbinafin oral, tersedia dalam granula oral, disetujui oleh FDA sebagai pengobatan tinea kapitis pada anak berusia empat tahun atau lebih. Agen ini juga disarankan sebagai terapi alternatif untuk tinea kapitis pada anak, termasuk pada kasus dengan M. canis. Sementara efektivitas dari terbinafin oral pada bayi dengan tinea kapitis yang disbabkan oleh M. canis belum dipelajari dengan luas, kegunaannya dilaporkan dalam beberapa kasus. Terbinafin oral digunakan pada satu pasien bayi dengan tinea kapitis yang disebabkan oleh M. canis dan kesembuhan total didapatkan apabila digunakan setiap hari selama 3 sampai 4 minggu. Namun, penilaian dari data dan laporan kasus yang ada mengatakan bahwa lebih sering terjadi kasus refrakter pada penggunaan terbinafin oral dibanding dengan penggunaan griseofulvin pada tinea kapitis yang disebabkan oleh M. canis, dengan terbinafin dianggap kurang efektif dibanding dengan griseofulvin pada patogen ini. Efektivitas yang lebih rendah dari terbinafin oral pada ectothrix scalp infections (contoh, M. canis) pada anak mungkin berhubungan dengan sifat farmakokinetik dari obat tersebut. Setelah pemberian oral, terbinafin terakumulasi dalam konsentrasi yang tinggi di sebum karena sifat lipofilik, maka lebih diharapkan efektif untuk infeksi dermatofita yang melibatkan folikel rambut dari kulit kepala. Namun, karena glandula sebasea tetap imatur dan tidak berkembang seutuhnya sampai pubertas, akses terbinafin pada folikel rambut berkurang. Selain itu, terbinafin tidak menembus melalui keringat ekrin setelah pemberian oral, yang dapat menjadi akses potensial sekunder secara pasif. Oleh karena itu, kurangnya penetrasi melalui keringat ekrin dan kadar sebum yang rendah sebelum pubertas merupakan penjelasan yang mungkin untuk efektivitas terbinafin oral yang kurang pada tinea kapitis yang disebabkan oleh organisme yang menghasilkan invasi rambut ektotrix (contoh, M. canis).

     Berdasarkan labeling produk dari Amerika Serika, dosis dari granula terbinafin oral untuk tinea kapitis pada anak adalah 125 mg/hari (anak <25kg), 187,5 mg/hari (anak 25-35kg), dan 250 mg/hari (anak >35 kg), diberikan setiap hari sekali, dengan rekomendasi dosis per berat badan yang berbeda sedikit dari laporan sebelumnya dalam literatur yang dipublikasikan mengenai terbinafin oral. Untuk penggunaan pada anak-anak, granula oral dapat ditaburkan kepada makanan yang tidak asam. Walaupun labeling produk AS menyarankan durasi pengoatan enam bulan untuk tinea kapitis, dosis dan durasi yang pasti untuk pengobatan M. canis secara efektif masi diperdebatkan dalam literatur. Dalam satu studi, terbinafin oral menunjukan pengobatan M. canis yang tidak efektif selama enam minggu. Sebaliknya, studi yang lain menyarankan bahwa pengobatan terbinafin oral selama enam minggu aman, dapat ditolernsi baik, dan dapat memberikan efektivitas pengobatan yang cukup. Selebihnya, studi tersebutmenyrankan bahwa angka kesembuhan meningkat dengan peningkatan dosis, bukan durasi. Mengenai durasi, beberapa mempercayai bahwa walaupun terbinafin efektif untuk M. canis, durasi waktu yang dibutuhkan lebih lama dan menyarankan bahwa “kegagalan dihubungkan dengan durasi pengobatan bukan dosis obat.” Tanpa memperhatikan debat tersebut, terbinafin dibuktikan efektif pada infeksi oleh M. canis dan dapat dianggap sebagai alternatif karena potensi durasi pengobatan yang lebih pendek, walaupun griseofulvin masih merupakan pengobatan yang dipilih daripada terbinafin oral.

     Flukonazol. Walaupun penggunaannya disetujui untuk anak-anak untuk infeksi jamur lainnya (terutama sistemik), flukonazol oral tidak disetujui oleh FDA untuk pengobatan tinea kapitis. Namun, flukonazol oral baik digunakan untuk dermatofita dan merupakan pilihan lain untuk pengobatan dari tinea kapitis pada anak-anak, tersedia untuk asupan oral sebagai suspensi oral atau tablet.

     Keamanan dari penggunaan sistemik flukonazol, baik oral maupun intravena, pada populasi pediatrik (N=562), dinilai berdasarkan data dari 12 percobaan klinis. Studi ini, dimana penggunaan flukonazol didasarkan oleh berat badan (1-12 mg/kg), termasuk didalamnya anak-anak yang immunokompramais dengan kelainan medis yang mendasarinya, dan dengan 98,6 persen juga mendapatkan berbagai jenis obat bersamaan. Pemikiran ini menyimpulkan bahwa flukonazol oral pada populasi pediatrik sangat dapat ditoleransi, dengan pengarang menyatakan bahwa “profil keamanan dari flukonazol pada anak-anak mencerminkan profil kemanan yang sangat baik seperti yang didapat pada orang dewasa.” Penelitian tambahan juga menunjukan bahwa flukonazol oral dapat ditoleransi dengan baik pada anak-anak yang diobati untuk tinea kapitis.

     Flukonazol oral 8 mg/kg sekali setiap seminggu selama 8 minggu dinilai pada studi terbuka pada anak-anak dengan tinea kapitis. Durasi yang lebih panjang diberikan apabila dibutuhkan secara klinis berdasarkan pemeriksaan. Semua kasus dari T. tonsurans (n=11) berespon dengan kesembuhan total sampai delapan minggu setelah pengobatan. M. canis dapat dieradikasi secara klinis pada 12 dari 17 kasis setelah delapan minggu pengobatan sekali seminggu dengan flukonazol oral, dengan satu kasus membutuhkan waktu 12 minggu, dan tiga kasus membutuhkan 16 minggu untuk mencapai kesembuhan total. Secara keseluruhan, 16 dari 17 kasus tinea kapitis yang diobati dengan flukonazol sekali seminggu dapat disembuhkan total pada delapan minggu setelah selesainya pengobatan antifungal.

     Pada multicenter, studi triple-blind, flukonazol 6 mg/kg/hari selama tiga minggu atau flukonazol 6 mg/kg/hari selama enam minggu menunjukan efektivitas yang dapat dibandingkan dengan efektivitas dari griseofulvin oral 11 mg/kg/hari selama enam minggu pana anak-anak dengan tinea kapitis. Namun, angka kesembuhan dari jamur hanya didapatkan 50 persen pada ketiga grup pengobatan pada akhir penelitian. Tanpa memperhatikan genus dan spesies dari penyebab dermatofit, dosis harian dari griseofulvin oral yang diberikan pada studi ini terlalu kecil apabila menggunakan sediaan microsize berdasarkan pada patogen jamur yang lebih umum ditemukan. Selain itu, durasi dari pengobatan adalah enam minggu atau kurang dengan kedua agen juga kemungkinan tidak adekuat pada sebagian besar pasien, dengan durasi yang lebih lama dibutuhkan pada sebagian kasus. Griseofulvin oral (microsize) direkomendasikan pada dosis 20 sampai 25 mg/kg/hari untuk durasi 6 sampai 12 minggu pada umumnya.

     Ketokonazol. Ketokonazol oral sudah disarankan dalam pengobatan dari infeksi dermatofit pada kasus dimana griseofulvin tidak dapat ditoleransi. Namun, karena risiko yang lebih besar untuk terjadi hepatotoksisitas dengan ketokonazol oral dibandingkan dengan agen antifungal oral lainnya, dimana dilaporkan terdapat peningkatan serum transaminase pada 5 sampai 10 persen kasus dan estimasi dari hepatitis yang simptomatik terdapat pada 1 dalam 10.000 pasien, pada penulis tidak menganggap ketokonazol oral sebagai alternatif yang lebih baik dari teribinafin, flukonazol, atau itrakonazol oral.

     Penggunaan pada tinea kapitis yang disebabkan oleh spesies Trichophyton termasuk T. tonsurans. Apabila spesies Trichophyton yang terlibat, agen lainnya juga menunjukan efektivitas yang sama seperti griseofulvin, namun dengan dengan keuntungan membutuhkan durasi pengobatan yang lebih pendek. Keuntungan ini berguna, terutama apabila pengobatan tersebut ditujukan kepada bayi. Namun sekali lagi, belum terdapat agen yang disetujui oleh FDA secara spesifik dalam pengobatan pada bayi. Pada tinea kapitis yang disebabkan oleh Trichophyton spp pada anak-anak, guideline dari European Society of Pediatric Dermatologists menyatakan bahwa itrakonazol, flukonazol, dan terbinafin memilika “angka efektivitas dan potensi efek samping yang serupa dengan griseofulvin” dan walaupun lebih mahal, mereka membutuhkan durasi pengobatan yang lebih singkat. Satu laporan menyarankan bahwa “beberapa penelitian kecil menujukan bahwa penggunaan terbinafin, itrakonazol, dan flukonazol jangka pendek memiliki efektivitas dan keamanan yang serupa dengan griseofulvin.” The Cochrane report juga menyatakan bahwa terdapat bukti bahwa terbinafin, dengan dosis yang didasarkan oleh berat badan, selama 2 sampai 4 minggu efektif dalam pengobatan tinea kapitis yang disebabkan oleh Trichophyton spp. Telah ditunjukan bahwa terbinafin setidaknya sama efektif dengan griseofulvin dalam pengobatan tinea kapitis oleh Trichophyton pada laporan yang lain. Satu studi juga mengatakan bahwa granul terbinafin oral mencapai angka kesembuhan total yang lebih tinggi dibanding dengan suspensi oral terbinafin untuk tinea kapitis oleh T. tonsurans. Maka, pada keadaan dimana griseofulvin gagal, efek samping mengakibatkan penghentian dari pemakaian griseofulvin, atau griseofulvin bukan merupakan pilihan, terbinafin, flukonazol, atau itrakonazol dapat dipertimbangkan sebagai alternatif yang viabel untuk pengobatan tinea kapitis oleh karena T. tonsurans.

     Pertimbangan Monitoring pada Penggunaan Agen Antifungal Oral pada Anak-anak dengan Tinea Capitis. Secara keseluruhan, terapi antifungal oral dianggap aman dan dapat ditoleransi dengan baik pada anak-anak dengan berbagai infeksi fungal superfisial dan sistemik, termasuk pada bayi dengan tinea capitis serta infeksi mikotik lainnya dalam beberapa analisis serta laporan kasus. Seperti dalam terapi lainnya, terutama terapi yang menggunakan agen sistemik, monitoring pasien untuk mengetahui efektivitas dan keamanan terapi sangat penting dalam kesuksesan terapi serta penyesuaian terapi berdasarkan respons klinis atau efek samping yang timbul.

  1. Monitoring Klinis

            Monitoring secara klinis terhadap terapi antifungal oral mengharuskan diperolehnya riwayat medis lengkap. Pemilihan agen terapi serta rekomendasi monitoring selama terapi berhubungan erat dengan adanya kondisi medis, terutama gangguan hepatik atau hematologis. Sebagai contoh, penggunaan granula oral terbinafine tidak direkomendasikan pada pasien dengan penyakit hepatik kronis atau aktif.

Sebagai rekomendasi umum, dalam terapi tinea capitis pada anak-anak termasuk bayi, penulis merekomendasikan kunjungan follow-up bulanan untuk meninjau tolerabilitas, keamanan, serta respons klinis. Dengan mempertimbangkan tingkat edukasi orang tua atau wali, atau bila pasien dianggap cukup dewasa untuk mengerti, perlu dijelaskan bahwa walaupun sebagian besar pasien tidak mengalami masalah dengan terapi antifungal oral, dapat terjadi efek samping yang sebaiknya dideteksi secara dini. Dengan demikian, apabila pasien mengalami efek samping potensial, misalnya nyeri kepala, gangguan gastrointestinal, rasa lemas atau lelah yang tidak menghilang setelah beristirahat, atau gejala menyerupai flu, pasien dapat segera mengenali efek samping tersebut dan segera menghubungi tenaga medis. Demikian pula apabila pasien mengalami rasa tidak nyaman pada perut, mual, muntah, diare, pusing, atau gejala lain yang tidak biasa dialami oleh pasien. Pada anak-anak atau bayi yang terlalu muda untuk mengekspresikan gejala secara verbal, perubahan perilaku, terutama penurunan nafsu makan, lemas, atau gelisah dapat menunjukkan adanya efek samping obat, termasuk gejala gastrointestinal seperti mual atau muntah.

  1. Monitoring Laboratorium

            Terdapat beberapa publikasi, termasuk beberapa yang ditinjau dan dikutip artikel ini yang mendiskusikan penggunaan agen antifungal oral pada anak-anak serta bayi dengan tinea capitis atau infeksi fungal superfisial lainnya. Rekomendasi umum terhadap monitoring laboratorium bagi terapi antifungal oral, termasuk griseofulvin, terbinafine, fluconazole, dan itraconazole, dapat ditemukan dalam literatur serta label produk, yang dapat memandu klinisi untuk menentukan monitoring. FDA telah menyetujui beberapa agen antifungal oral yang tersedia di pasaran, namun persetujuan tersebut belum mencakup seluruh situasi yang dapat ditemukan klinisi pada praktiknya. Walaupun terdapat panduan monitoring umum dalam literatur dalam penggunaan griseofulvin, terbinafine, fluconazole, dan itraconazole, penulis mendukung bahwa monitoring secara klinis memegang peranan terpenting. Risiko jejas hepatoselular atau risiko hematologis pada penggunaan agen-agen tersebut dianggap rendah baik pada orang dewasa maupun anak-anak.

            Di masa lalu, monitoring laboratorium disarankan bagi pasien yang menerima griseofulvin oral, namun monitoring secara klinis tampaknya cukup memadai, terutama pada pasien anak tanpa kondisi medis berat. Penggunaan griseofulvin oral bagi dermatofitosis pada pasien anak selama empat puluh tahun terakhir menunjukkan profil keamanan yang sangat baik, dengan literatur yang mendukung tidak adanya efek samping baru yang ditemukan. Secara keseluruhan, monitoring laboratorium rutin tidak disarankan, misalnya hematologi lengkap atau transaminase serum pada pasien anak bahkan bayi yang menerima griseofulvin oral untuk tinea capitis.

            Pada penggunaan terbinafine oral, guideline monitoring menyarankan pemeriksaan awal transaminase serum (ALT/AST) serta hematologi lengkap, terutama apabila dikhawatirkan dapat terjadi efek samping hematologis atau pada durasi terapi lebih dari enam minggu. Pemeriksaan ulang setelah 1 bulan dan 3 bulan selama terapi juga disarankan. Berdasarkan label produk yang disetujui oleh FDA, pemeriksaan transaminase serum disarankan pada seluruh pasien yang menerima terbinafine oral. Agranulositosis merupakan efek samping yang dikhawatirkan dan dapat timbul setelah 4-6 minggu terapi, sekalipun angka kejadiannya terbilang langka, yaitu sekitar 1:400.000.

            Monitoring transaminase serum juga sangat penting pada pemberian itraconazole dan fluconazole, dan disarankan bagi seluruh pasien dengan gangguan fungsi hepatik. Dalam praktik, risiko reaksi hepatik yang relevan secara klinis akibat penggunaan kedua agen tersebut tergolong rendah, sehingga guideline yang mendorong pemeriksaan laboratorium bukanlah mandat terutama pada pasien dengan keadaaan umum baik. Apabila klinisi memilih untuk melakukan monitoring laboratorium, pemeriksaan transaminase serum dapat dilakukan sebelum terapi dimulai, kemudian setelah 1 bulan, 3 bulan, dan setiap 3 bulan berikutnya. Meskipun demikian, terapi jangka panjang lebih dari 16 minggu tidak lazim dibutuhkan bagi anak-anak dengan tinea capitis. Pada akhirnya, pemilihan monitoring harus ditentukan oleh klinisi, misalnya untuk melakukan pemeriksaan awal atau follow-up apabila riwayat medis pasien mendukung pendekatan tersebut dan setelah berdiskusi dengan orang tua pasien.

            Satu hal yang penting untuk diperhatikan, adalah bahwa ketoconazole oral tidak memberikan keuntungan dibandingkan agen antifungal oral lainnya untuk infeksi dermatofit (termasuk tinea capitis), namun memiliki risiko hepatotoksisitas simptomatik dan asimptomatik yang lebih tinggi, sehingga penggunaan ketoconazole oral tidak disarankan.

     Interaksi Obat dengan Agen Antifungal Oral. Sebagian besar obat yang memiliki interaksi yang signifikan dengan agen antifungal oral tidak lazim digunakan pada anak-anak, namun bisa jadi relevan secara klinis pada kasus-kasus khusus. Obat-obat tersebut termasuk golongan obat antihipertensi atau jantung (nifedipine, quinidine, digoxin, metoprolol), obat penurun kolesterol (atorvastatin, simvastatin, lovastatin), obat antidepresan (nortryptiline, golongan selective serotonin reuptake inhibitors/SSRI), obat hipnotik-sedatif (triazolam), dan warfarin. Oleh karena itu, sangat penting untuk melakukan pemeriksaan silang terhadap obat-obat yang sedang digunakan oleh pasien, serta memperbarui daftar obat pada setiap kunjungan pasien. Pada anak-anak dengan kondisi medis yang membutuhkan obat-obat sistemik, sangat penting untuk menyingkirkan risiko interaksi obat yang signifikan, yang berbeda bagi setiap pilihan agen antifungal.

            Terdapat dua skenario yang cukup sering dijumpai klinisi saat menangani pasien anak dengan tinea capitis. Pada skenario pertama, pasien anak memiliki kondisi medis yang membutuhkan terapi imunosupresif sistemik, misalnya penggunaan cyclosporine untuk dermatitis atopic berat, psoriasis berat, kondisi autoimun tertentu, serta resipien transplantasi organ. Pada kasus tersebut, konsentrasi cyclosporine dalam serum dapat meningkat apabila dibarengi dengan pemberian fluconazole atau itraconazole oral. Pada skenario kedua, pasien anak tersebut akan menjalani sedasi untuk suatu prosedur operatif, konsentrasi agen hipnotik midazolam dapat meningkat secara signifikan apabila dibarengi dengan pemberian itraconazole, dan menimbulkan sedasi berkepanjangan.

     Terapi Topikal Tambahan. Terapi antifungal topikal tambahan merupakan salah satu pertimbangan penting dalam manajemen tinea capitis, namun tidak dapat digunakan sebagai monoterapi karena tingkat kesembuhan yang sangat rendah. Agen antifungal topikal (misalnya selenium sulfide 1% atau ketoconazole 2%), umumnya digunakan dalam formulasi shampoo, dapat menurunkan jumlah koloni dermatofit serta mengurangi durasi terapi antifungal oral pada kasus-kasus tinea capitis. Shampoo diaplikasikan selama 5-10 menit sebelum dicuci, dengan frekuensi setidaknya tiga kali per minggu, dan lebih optimal apabila digunakan setiap hari. Agen antifungal dalam formulasi lotio, solution, krim, atau gel juga dapat digunakan pada kulit kepala sebagai terapi tambahan untuk tinea capitis, namun lebih sulit digunakan dan membutuhkan waktu aplikasi yang lebih lama, sehingga sulit diberikan pada anak yang tidak kooperatif.

            Shampoo ketoconazole 2% yang digunakan setiap hari selama 8 minggu dapat memberikan perbaikan klinis pada tinea capitis yang disebabkan oleh T. tonsurans pada 15 anak berusia 3-6 tahun, dengan kultur negatif pada 6 dari 15 anak tersebut pada minggu ke-8, walaupun penggunaannya sebagai monoterapi tetap tidak disarankan untuk tinea capitis. Higiene rambut yang baik juga disarankan. Pasien sebaiknya tidak menggunakan topi, sisir, atau bantal bersama dengan orang yang sehat. Konsultasi dengan dokter hewan juga disarankan apabila sumber infeksi berasal dari hewan peliharaan seperti anjing atau kucing.

  1. KESIMPULAN

            Tinea capitis merupakan infeksi fungal yang paling banyak ditemukan pada anak-anak, namun tidak umum ditemukan pada bayi. Tinea capitis dapat tampak identik dengan dermatitis seboreik pada kulit kepala, yang sangat sering ditemukan pada bayi, sehinggatinea capitis seringkali salah didiagnosis dan diterapi secara inadekuat. Terapi yang adekuat sangat penting, karena adanya risiko sekuele jangka panjang yang mungkin terjadi. Hanya ada dua agen antifungal oral yang disetujui oleh FDA untuk terapi tinea capitis pada anak, yaitu griseofulvin dan terbinafine, namun belum ada agen yang disetujui untuk terapi tinea capitis pada bayi. Namun, terdapat data yang tersedia bagi penggunaan agen antifungal oral lain pada anak-anak dan bayi. Terdapat perbedaan dalam efektivitas, dosis harian, serta durasi terapi antara berbagai agen antifungal oral bergantung pada genera dan spesies dermatofit serta berat penyakit. Diagnosis yang tepat serta identifikasi patogen merupakan komponen penting untuk mencapai terapi optimal. Klinisi harus memperhatikan berbagai manifestasi klinis tinea capitis pada seluruh usia. Terapi antifungal oral dibutuhkan untuk menangani tinea capitis secara optimal, disertai dengan pemberian terapi antifungal topikal tambahan untuk mempercepat respons klinis, mengurangi jumlah organisme, mengurangi risiko transmisi, serta mengurangi risiko carrier asimptomatis.

REFERENSI

 

  1. Ali S, Graham TAD, Forgie SED. The assessment and management of tinea capitis in children. Pediatr Emerg Care. 2007;23(9):662–668.
  2. Silverman RA. Pediatric mycoses. In: Elewski BE, ed. Topicsin Clinical Dermatology: Cutaneous Fungal Infections. New York, NY: Igaku-Shoin; 1992.
  3. Ginter-Hanselmayer G, Seebacher C. Treatment of tineacapitis—a critical appraisal. J Dtsch Dermatol Ges. 2011;9:109–114.
  4. Mohrenschlager M, Seidl HP, Ring J, et al. Pediatric tineacapitis: recognition and management. Am J Clin Dermatol. 2005;6(4):203–213.
  5. Elewski BE, Caceres HW, DeLeon L, et al. Terbinafine hydrochloride oral granules versus oral griseofulvin suspension in children with tinea capitis: results of two randomized, investigator-blinded, multicenter, international, controlled studies. J Am Acad Dermatol. 2008;59:41–54.
  6. Binder B, Richtig E, Weger W, et al. Tinea capitis in early infancy treated with itraconazole: pilot study. JEADV. 2009;23:1161–1163.
  7. Elewski BE. Tinea capitis: a current perspective. J Am Acad Dermatol. 2000;42:1–20.
  8. Gonzalez U. Tinea capitis. In: Williams H, ed. Evidence-based Dermatology. Malden, Mass: Blackwell Publishing; 2008.
  9. Lorch Dauk KC, Comrov E, Blumer JL, et al. Tinea capitis: predictive value of symptoms and time to cure with griseofulvin treatment. Clin Pediatr. 2010;49(3):280–286.
  10. Smith ML. Tinea capitis. Pediatr Ann. 1996;25(2):101–105.
  11. Alvarez MS, Silverberg NB. Tinea capitis. Cutis. 2006;78:189–196.
  12. Gilaberte Y, Rezusta A, Gil J, et al. Tinea capitis in infants in their first year of life. Br J Dermatol. 2004;151:886–890.
  13. Elewski BE. Treatment of tinea capitis: beyond griseofulvin. J Am Acad Dermatol. 1999;40:S27–S30.
  14. Williams JV, Eichenfield LF, Burke BL, et al. Prevalence of scalp scaling in prepubertal children. Pediatrics. 2005;115:e1–e6.
  15. Romano C, Gianni C, Papini M. Tinea capitis in infants less than 1 year of age. Pediatr Dermatol. 2001;18(6):465–468.
  16. Fuller LC, Child FC, Midgley G, et al. Scalp ringworm in south-east London and an analysis of a cohort of patients from a paediatric dermatology department. Br J Dermatol. 2003;148(5):985–988.
  17. Cahn Y-C, Friedlander SF. New treatments for tinea capitis. Curr Opin Infect Dis. 2004;17:97–103.
  18. Gupta AK, Cooper EA. Update in antifungal therapy of dermatophytosis. Mycopathologia. 2008;166:353–367.
  19. Kakourou T, Uksal U. Guidelines for the management of tinea capitis in children. Pediatr Dermatol. 2010;27(3):226–228.
  20. Gonzalez U, Seaton T, Bergus G, et al. Systemic antifungal therapy for tinea capitis in children. Cochrane Database Syst Rev. 2007;4:1–72.
  21. Koumantaki E, Georgala S, Rallis, et al. Microsporum canis tinea capitis in an 8-month-old infant successfully treated with 2 weekly pulses of oral itraconazole. Pediatr Dermatol. 2001;18(1):60–62.
  22. Roberts BJ, Friedlander SF. Tinea capitis: a treatment update. Pediatric Annals. 2005;34(3):191–200.
  23. Dragos V, Lunder M. Lack of efficacy of 6-week treatment with oral terbinafine for tinea capitis due to Microsporum canis in children. Pediatr Dermatol. 1997;14:46–48.
  24. Aste N, Pau M. Tinea capitis caused by Microsporum canis treated with terbinafine. Mycoses. 2004;47:428–430.
  25. Lipozencic J, Skerlev M, Orofino-Costa R, et al. A randomized, double-blind, parallel-group, duration-finding study of oral terbinafine and open-label, high-dose griseofulvin in children with tinea capitis due to Microsporum species. Br J Dermatol. 2002;146:816–823.
  26. Higgins EM. Tinea captitis. In: Lebwohl MG, Heymann WR, Berth-Jones J, Coulson I, eds. Treatment of Skin Disease: Comprehensive Treatment Strategies. 3rd ed. Philadelphia: Saunders-Elsevier; 2010:736–739.
  27. Gupta AK, Dlova N, Taborda P, et al. Once weekly fluconazole is effective in children in the treatment of tinea capitis: a prospective multicenter study. Br J Dermatol. 2000;142: 965–968.
  28. Foster KW, Friedlander SF, Panzer H, at al. A randomized controlled trial assessing the efficacy of fluconazole in the treatment of pediatric tinea capitis. J Am Acad Dermatol. 2005;53(5):798–809.
  29. Novelli V, Holzel H. Safety and tolerability of fluconazole in children. Antimicrob Agents Chemother. 1999;43(8): 1955–1960.
  30. Lewis JH, Zimmerman HJ, Benson GD, et al. Hepatic injury associated with ketoconazole therapy: analysis of 33 cases. Gastroenterology. 1984;86:503–513.
  31. Wolverton SE, Remlinger K. Suggested guidelines for patient monitoring: hepatic and hematologic toxicity attributable to systemic dermatologic drugs. Dermatol Clin. 2007;25: 195–205.
  32. Gupta AK. Systemic antifungal agents. In Wolverton SE, ed. Comprehensive Dermatologic Drug Therapy, 2nd Edition. Philadelphia: Saunders-Elsevier; 2007:75–99.
  33. Fleece D, Gaughan JP, Aronoff SC. Griseofulvin versus terbinafine in the treatment of tinea capitis: a meta-analysis of randomized, clinical trials. Pediatrics. 2004; 114(5): 1312–1315.
  34. Fuller LC, Smith CH, Cerio R, et al. A randomized comparison of 4 weeks of terbinafine vs. 8 weeks of griseofulvin for the treatment of tinea capitis. Br J Dermatol. 2001;144:321–327.
  35. Lamisil Oral Granules. Physicians Desk Reference. 2010: 2264–2265.
  36. Sporanox (Itraconazole Capsules). Drug Information User Reviews. http://www.rxlist.com/sporanox-drug.htm/. Accessed 6/29/2011.
  1. Grifulvin V Oral Suspension (Griseofulvin Oral Suspension). Physicians Desk Reference; 2006.
  2. Gupta A, Katz I, Shear NH. Drug interactions with itraconazole, fluconazole, and terbinafine and their management. J Am Acad Dermatol. 1999;41:237–248.
  3. Shapiro LE, Shear NH. Drug interactions. In: Wolverton SE, ed. Comprehensive Dermatologic Drug Therapy, 2nd Edition. Philadelphia: Saunders-Elsevier; 2007:949–975.
  4. Greer DL. Successful treatment of tinea capitis with 2% ketoconazole shampoo. Int J Dermatol. 2000;39:302–304.
  5. Gibbens TG, Murray MM, Baker RC. Comparison of 1% and 2.5% selenium sulphide in the treatment of tinea capitis. Arch Pediatr Adolesc Med. 1995;149:808–811.
  6. Allen HB, Honig PJ, Leyden JJ, et al. Selenium sulphide: adjunctive treatment for tinea capitis. Pediatrics. 1992;69: 81–83

Read Full Post »

Luka Akut

  • Cedera kulit yang terjadi secara tiba-tiba, bukan dari waktu ke waktu
  • Terjadi proses penyembuhan yang dapat diprediksi sesuai dengan penyembuhan luka yang normal

Metode Konvensional

  • Membersihkan luka dengan normal salin (NaCl 0,9 %)
  • Untuk luka tusuk dapat dilakukan cross incision terlebih dahulu dan luka dibersihkan dengan menggunakan H2O2
  • Kemudian ditutup dengan kasa kering

Wound Bed Preparation

  • Pengelolaan luka untuk mempercepat penyembuhan endogen atau untuk memfasilitasi efektivitas tindakan terapi lainnya.
  • Tujuan: identifikasi penyebab, melaksanakan program perawatan untuk mencapai luka yang stabil, jaringan granulasi yang baik, dan dasar luka yang tervaskularisasi dengan baik

TIME

  • Tissue
  • Infection
  • Moisture
  • wound Edge

1. Tissue

  • Pengelolaan Jaringan
  • Debridement (episodik atau kontinu)
    • autolitik: proses alami, ditunjang dengan penggunaan balutan oklusif atau semioklusif dan lingkungan yang lembab
    • surgikal (tajam)
    • enzimatik: enzim eksogen + enzim endogen
    • mekanikal: dengan irigasi atau balutan kering, sekarang jarang digunakan karena dapat menimbulkan nyeri
    • agen biologis: sekret larva steril

Tujuan: restorasi dasar luka

2. Inflammation

Kontrol infeksi dan inflamasi

  • Tanda: nyeri, eritema, edema, sekret purulen, suhu hangat
  • Menyingkirkan fokus terinfeksi, pembersihan luka
  • Sistemik topikal: antimikrobial (iodin, silver), antiinflamasi, inhibitor protease

Tujuan: mengontrol pertumbuhan bakteri dan mengurangi inflamasi

3. Moisture

Menjaga keseimbangan kelembaban

  • Menggunakan balutan untuk menjaga kelembaban
  • Kompresi, tekanan negatif, atau metode lain untuk menyingkirkan cairan

Balutan pada eksudat: foam, hidrokoloid, alginat, hydrofibre, cadexomer iodine

Luka nekrosis kering: pemelihara kelembaban (hidrokoloid, semipermeabel)

Luka tertutup bernanah: pemelihara kelembaban, penyerap air (hidrokoloid, alginat)

Luka terinfeksi: hindari balutan semioklusif (alginat atau hidrokoloid untuk eksudat yang banyak)

Luka gores, abrasi, bersih: film, tule, balutan kering atau fiksasi

Luka gores, abrasi, kotor: balutan kering atau tule

Luka tusuk atau gigit: balutan terbuka atau kering

Laserasi dengan jahitan: terbuka atau kering

Luka bakar minor: film, tule dengan medikasi, fiksasi

Luka bakar mayor: tule dengan medikasi, balutan plastik

Luka kronik: hidrokoloid, alginat, foam

Hidrokoloid

hydrocolloid-w1205.01.fig6

Hidrogel

dressing2-hydrogel

Foam

hartmann-permafoam-comfort-adhesive-409408-hrtm409408-409

4. Edge

Perbaikan epitel di daerah tepi luka

  • Cari penyebab atau lakukan terapi korektif:
    • debridement
    • skin grafts: penutupan daerah luka dengan kulit pada bagian lain dari tubuh pasien 
    • agen biologis
    • terapi adjuvan

 

Sumber:

http://www.woundsinternational.com/media/issues/122/files/content_86.pdf

http://www.woundcarecenters.org/article/wound-types/acute-wounds

http://www.rch.org.au/clinicalguide/guideline_index/Wound_dressings_acute_traumatic_wounds/

Read Full Post »

patgen-patfis-gk_konjungtivitis-bakterial

Gejala Klinis:

  • Injeksi konjungtiva baik segmental ataupun menyeluruh
  • Sekret purulen
  • Pada kasus ringan sering dijumpai edema pada kelopak mata
  • Ketajaman penglihatan biasanya tidak mengalami gangguan, mungkin sedikit kabur karena adanya sekret dan debris pada lapisan air mata
  • Reaksi pupil masih normal
  • Khas: kelopak mata yang saling melekat pada pagi hari sewaktu bangun tidur.

Read Full Post »

Jenis-jenis lensa koreksi:

lens

300px-CylindricalLenses_2

Miopi

  • Koreksi dengan lensa negatif: konkaf
  • Karakteristik: membuat gambaran yang lebih jauh dan lebih kecil sehingga dapat terlihat jelas oleh mata
  • Lensa sferis minus terkecil yang memberikan tajam penglihatan terbaik (misal S -2.50 dan S -2.75 memberi visus 6/6 dipilih S -2.50)

Contoh:

OD S -2.50 D

OS S -2.00 D

 myopia1

Hipermetropi

  • Koreksi dengan lensa positif: konveks
  • Karakteristik: membuat gambaran lebih besar dan lebih dekat sehingga dapat terlihat jelas oleh mata
  • Lensa sferis positif terbesar yang memberikan tajam penglihatan terbaik (misal S +2.75 dan S +2.50 memberikan visus 6/6, dipilih S +2.75)

Contoh:

OD S +2.75 D

OS S +2.50 D

hypermetropia1

Presbiopi

  • Koreksi dengan lensa bifokal
  • Karakteristik: memiliki dua kekuatan lensa yang berbeda
  • Ukuran lensa yang memberikan ketajaman penglihatan dekat sempurna merupakan ukuran lensa yang diperlukan untuk adisi kacamata baca
  • Hubungan lensa adisi dan umur biasanya:
    • 40-45 tahun S +1.00 dioptri
    • 45-50 tahun S +1.50 dioptri
    • 50-55 tahun S +2.00 dioptri
    • 55-60 tahun S +2.50 dioptri
    • > 60 tahun S +3.00 dioptri

Jarak baca biasanya 30 cm sehingga adisi +3.00 D adalah lensa positif terkuat yang dapat diberikan pada seseorang. Pada keadaan ini mata tidak melakukan akomodasi bila membaca pada jarak 33 cm karena benda yang dibaca terletak pada titik api lensa +3.00 D sehingga sinar yang keluar akan sejajar.

Adisi untuk membaca perlu disesuaikan dengan kebutuhan jarak pasien pada waktu membaca. Pemeriksaan sangat subjektif sehingga angka-angka di atas tidak merupakan angka yang tetap.

Contoh:

OD S -0.75 D

OS S -1.00 D

ADD S +2.00 D

02_bifocal_type

bifocal2

presbiopy1

Astigmatisme

  • Koreksi dengan lensa silindris atau lensa silindris dan sferis
  • Lensa silinder memiliki dua meridian yang tegak lurus satu sama lain
  • Meridian yang tidak memiliki kekuatan lensa disebut aksis
  • Meridian lainnya memiliki kekuatan lensa
  • Derajat astigmatisme sama dengan ukuran lensa silinder negatif yang dipakai sehingga gambar kipas astigmatisme tampak jelas

 FIGURE30-706341

450px-Cylinder_clock

astigmatism1

 

Lensa sferosilindris

Kombinasi lensa silindris dan lensa sferis

Contoh:

S -2.00 D

C -1.00 D X 90°

sphero-cylindrical

Transposisi Lensa

Tujuan: mengubah silinder negatif menjadi silinder positif atau sebaliknya tanpa mengubah kekuatan lensa tersebut

Metode:

Sferis: merupakan penjumlahan secara aljabar nilai sferis dan silindris

Silindris: ubah tanda kekuatan lensa, ubah aksis dengan menambahkan 90°

Contoh: S +2.00 D C +1.00 D x 90° -> S +3.00 D C -1.00 D x 180°

 

 

Read Full Post »

patgen-patfis-gk_pitiriasis-rosea

Sinar matahari (UV) dapat menjadi pencetus karena mengurangi elastisitas dan merangsang degenerasi sel kulit. Kulit yang kering akan lebih mudah terinfeksi. Juga infeksi laten herpesvirus dapat mengalami reaktivasi karena jejas penyinaran.

Plak Primer:

  • Herald patch (50-90% kasus)
    • Oval/bulat dengan pusat keriput (skuama)
    • Badan apoptosis
    • Degenerasi vaskular basal
    • Pola reaksi inflamasi: alterasi lichenoid
  • Warna fine pink (rosea) atau eritema
  • Zona perifer merah gelap

Erupsi Sekunder:

  • Serupa erupsi primer, tetapi lebih kecil
  • Distribusi sesuai sumbu panjang lipatan kulit (Christmas tree pattern)
  • Jumlahnya meningkat, predileksi semakin menuju perifer

 untitled

Figure_42_02_07

Gejala Klinik

  • Gejala prodromal (5% kasus)
  • Riwayat ISPA dan gangguan saluran cerna (20-50% kasus)
  • Herald patch
  • Christmas tree pattern
  • Gatal (intensitas dapat berbeda, hilang dalam 6-8 minggu)
  • Jarak waktu munculnya plak primer dan sekunder antara 2 hari-2 bulan (berhubungan dengan pembentukan IgM)

Read Full Post »

—patgen_dermatitis-atopik
Mengenai patogenesis dermatitis atopik terdapat dua teori:
  1. Reaksi Hipersensitivitas Tipe 1: melibatkan IgE dan sel mast, serta basofil. Namun, juga dapat melibatkan reaksi hipersensitivitas tipe 4 yang dimediasi oleh sitokin sel T
  2. Gangguan barier epitel
1. Reaksi Hipersensitivitas Tipe I (IgE-mediated)
  • —Fase inisial/segera:
    • Vasodilatasi
    • Kebocoran vaskular
    • Tergantung lokasi: spasme otot polos, sekresi glandular
  • —Fase reaksi lambat:
    • Infiltrasi jaringan oleh eosinofil, neutrofil, basofil, monosit, dan sel T CD 4+
    • Kerusakan jaringan, misalnya epitel mukosa
—
—Tiga Tahapan Utama Reaksi Hipersensitivitas Tipe I (Anafilaktik)
  • —Fase sensitisasi: waktu yang dibutuhkan untuk membentuk IgE sampai diikat silang oleh reseptor spesifik (Fcε-R) pada permukaan
  • —Fase aktivasi:—
    • Waktu antara pajanan ulang dengan antigen spesifik hingga terjadi degranulasi sel mast
    • Ion Ca masuk ke dalam sel mast >> ATP menjadi cGMP & cAMP >> degranulasi sel mast
  • Fase efektor: waktu terjadi respons yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek mediator-mediator yang dilepas oleh sel mast/basophil

immediate_hypersensitivity

mast-cell_chemokins

Fungsi dari beberapa interleukin yang berperan antara lain:

  • IL-2: pertumbuhan, proliferasi, dan diferensiasi sel T naif
  • IL-4: stimulasi sel B aktif dan diferensiasinya menjadi sel plasma yang menghasilkan IgE, meningkatkan presentasi MHC kelas II, menurunkan produksi sel Th1
  • IL-5: stimulasi pertumbuhan sel B, meningkatkan sekresi imunoglobulin, aktivasi eosinofil

 Fungsi Th2 lebih dominan daripada Th1 pada dermatitis atopik. 

2. Gangguan Barier Epitel:

  • Hilangnya ceramide (molekul utama pengikat air di ruang ekstraselular stratum korneum): transepidermal water loss (TEWL) -> kulit  kering -> port d’entrée penetrasi alergen, iritasi, bakteri, dan virus
  • Infeksi bakteri: sering oleh Staphylococcus aureus
  • Variasi pH kulit: mengganggu maturasi badan lamellar/ granula lamellar yang akan disekresi keratinosit. Badan lamellar berperan dalam pembentukan membran kedap air yang mengandung lipid. Membran tersebut berfungsi sebagai penghalang air dan diperlukan untuk fungsi sawar kulit yang semestinya.
  • Mutasi gen filament-aggregating  protein filaggrin (1q21.3): abnormalitas template sitoskeleton keratin.

Read Full Post »